Tugas : Sosiologi Hukum
KRONOLOGIS
PERISTIWA
Pada 28 Mei 2013, sebelum
ada rapat antara Kementerian ESDM dengan Komisi VII DPR. Dia pun mengaku sempat
dimarahi Waryono karena uang tersebut belum disediakan. “Pak Waryono bertanya, apakah bisa disiapkan dana untuk DPR. Saya
kaget. Saya jawab, wah kalau itu saya tidak sanggup.
Beliau
marah, saya diminta hubungi sana, hubungi sini, telepon sana telepon sini. Saya
bilang, saya tidak bisa Pak, saya tidak punya kapasitas itu. Lalu saya
diperintah untuk menelpon SKK Migas,” beber Didi menceriterakan
kronologi percakapannya dengan Waryono.
Akhirnya,
Didi menelpon Tenaga Ahli Satuan Kerja Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan
Gas Bumi (SKK Migas) Hardiono. Lewat sambungan telepon, Hardiono mengatakan,
uang sedang disiapkan dan Didi pun menyerahkan telepon itu ke Waryono.
“Setelah selesai menelpon,
Pak Sekjen menghampiri dan meminta saya tunggu saja disitu, nanti ada dari SKK.” Katanya.
Menurut
Didi, tidak lama kemudian, Hardiono datang ke ruang rapat kecil di kantor
Waryono Karno dan menaruh bungkusan warna cokelat di meja.
“Tidak berapa lama, Pak Sekjen bilang, buka itu. Saya nervous. Saya
jawab, tupoksi saya bukan begini Pak. Dia marah. Akhirnya kita buka itu dan
hitung. Ketemu jumlahnya, tapi saya tidak ingat. Terus Pak Sekjen nulis ke
papan kertas mengenai pembagian tahap I.” terang Didi.
Lebih
lanjut Didi mengatakan, seluruh duit itu berjumlah 140 ribu dolar AS, yang
kemudian dipecah untuk empat pimpinan Komisi VII masing-masing 7500 dolar,
anggota 43 orang masing-masing 2500 dolar dan untuk secretariat 2500 dolar.
Uang kemudian dimasukkan ke dalam amplop putih dengan kode di bagian pojok
kanan atas huruf ‘A’ antinya anggota, ‘P’ artinya pimpinan dan ‘S’ artinya secretariat.
“Setelah selesai semua, kita taruh di paper bag dan lapor pak
Sekjen. Pak Sekjen minta agar diserahkan ke orang dekat pak Sutan.” Kata Didi. Selanjutnya Didi menelpon Iryanto Muchyi yang saat itu
Tenaga Ahli Sutan Bhatoegana. Didi menyampaikan bahwa ada titipan uang dari
Waryono untuk Sutan. “Setelah menyerahkan uang,
saya lapor ke Pak Waryono bahwa titipan sudah dikasih ke orang Pak Sutan. Ada
tanda terimanya. Itu yang terjadi pada 28 Mei.” Papar Didi.
Hal
senada disampaikan Iryanto, yang juga dihadirkan sebagai saksi. Dia mengaku
mengambil titipan berupa paper bag dari Didi. “Didi bilang ada titipan untuk ketua, kemudian saya dibawa ke salah
satu ruangan. Ada tanda terima, saya tanda tangan.” Terang Iryanto. Setelah menerima paper bag pada 28 Mei 2013,
Iryanto bersama anaknya, Agus Sumarta langsung menuju ke DPR. Titipan
diserahkan ke M Iqbal, staf pribadi Sutan. “Karena Pak Sutan sedang rapat.” Kata Iryanto.
Iqbal
ikut naik ke mobil yang dikemudikan Agus Sumarta. Dalam mobil, Iryanto meminta
agar titipan diserahkan ke Sutan. Setelah itu, Iryanto menghubungi Sutan soal
titipan ini. “Saya sampaikan ada titipan
sama Iqbal,” katanya. Sutan hanya
menanggapi singkat. “Iya.” Cerita Iryanto. Iqbal dalam sidang Senin (11/5) juga mengaku
menerima paper bag berisi duit. Iqbal bahkan menyebut duit dalam amplop itu
dibagikan Sutan ke anggota dewan setelah dua atau tiga hari penerimaan paper
bag.
Subjek Hukum
Sutan Bhatoegana
Tindakan Korupsi Gratifikasi,
pemberian uang senilai 140 rb dollar dari sekjen Kementerian ESDM dan 200 rb
dollar dari kepala skk migas.
Atas
perbuatannya, Sutan dijerat Pasal 12 huruf a jo Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31
Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah
dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 1999 jo Pasal 65 ayat 1 KUH Pidana.
Mantan Ketua
Komisi VII DPR RI Sutan Bhatoegana divonis hukuman 10 tahun penjara oleh
Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi. Sutan dianggap terbukti
menerima pemberian uang terkait pembahasan APBN Perubahan 2013 dan penerimaan
gratifikasi. Menyatakan terdakwa Sutan Bhatoegana terbukti secara sah dan
meyakinkan melakukan tindak pidana korupsi dalam dakwaan kesatu primer dan
dakwaan kedua lebih subsider.
Hukum berlaku
efektif untuk pelaku tindak pidana korupsi, karena setiap pelaku korupsi
terkadang tidak takut akan ancaman pidana maupun denda yang diterapkan pada
penindakan oleh pengadilan. Upaya itu sering disalahgunakan oleh para pelaku
untuk memperkaya dirinya maupun keluarganya. Pada vonis yang dijatuhkan hakim
itu akan membuat efek jera bagi pelaku tindak pidana korupsi, itu karena
ancaman yang dijatuhkan sangat lama dan membayar denda cukup banyak. Ancaman
itu akan sangat menakutkan bagi pelaku korupsi lainnya.
No comments:
Post a Comment