Saturday 27 September 2014

ANALISIS KASUS PERKAWINAN BEDA AGAMA LYDIA KANDOU DAN JAMAL MIRDAD


ANALISIS KASUS PERKAWINAN BEDA AGAMA
LYDIA KANDOU DAN JAMAL MIRDAD


TUGAS HUKUM PERDATA INTERNASIONAL












                                        NAMA  :  FAIZAL
                                        NIM      :  E1A013016
                                        KELAS  :  B           




FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS NEGERI


ANALISIS KASUS PERKAWINANBEDA AGAMA
LYDIA KANDOU DAN JAMAL MIRDAD

A. LATAR BELAKANG
Pernikahan merupakan peristiwa yang sangat penting dalam masyarakat. Dengan hidup bersama, kemudian melahirkan keturunan yang merupakan sendi utama bagi pembentukan negara dan bangsa. Mengingat pentingnya peranan hidup bersama, pengaturan mengenai perkawinan memang harus dilakukan oleh negara. Di sini, negara berperan untuk melegalkan hubungan hukum antara seorang pria dan wanita.
Masyarakat Indonesia merupakan masyarakat yang majemuk, khususnya bila dilihat dari segi etnis / suku bangsa dan agama. Konsekuensinya, dalam menjalani kehidupannya masyarakat Indonesia dihadapkan kepada perbedaan – perbedaan dalam berbagai hal, mulai dari kebudayaan, cara pandang hidup dan interaksi antar individunya. Yang menjadi perhatian dari pemerintah dan komponen bangsa lainnya adalah masalah hubungan antar umat beragama. Salah satu persoalan dalam hubungan antar umat beragama ini adalah masalah Pernikahan Muslim dengan non-Muslim yang selanjutnya kita sebut sebagai “pernikahan beda agama’
Masalah ini menimbulkan perbedaan pendapat dari dua pihak pro dan kontra, masing-masing pihak memiliki argumen rasional maupun argumen logikal yang berasal dari penafsiran mereka masing-masing terhadap dalil-dalil tentang pernikahan beda agama, karena masalah pernikahan adalah masalah yang sangat rumit dan sangat fital khususnya bagi masyarakat muslim.
Perkawinan berbeda agama merupakan masalah yang sangat sulit untuk dipecahkan tanpa penyelesaian  dan penjelasan yang tuntas di negara kita tercinta. Banyak pencari keadilan yang kandas dalam menuntut hak mereka supaya dilegalkan. Seperti baru-baru ini Mahasiswa UI meminta uji materi terkait legalisasi perkawinan berbeda agama ke Mahkamah Konstitusi.Dia berpendapat bahwa ada potensi hak konstitusionalnya dirugikan.
Di Indonesia sendiri mempunyai peraturan yang mengatur perkawinan dalam Undang-Undang No.1 tahun 1974 pasal 1 mendefinisikan bahwa: Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa , namun dalam pelaksanaanya masih banyak kekurangan karena tidak diatur secara tegas. Faktanya Negara kita secara nyata mempunyai banyak agama.

B. KRONOLOGI
Kasus yang menghebohkan pada waktu itu adalah pada tahun 1986 Lydia Kandou menikah dengan aktor Jamal Mirdad yang jelas-jelas berbeda agama. Lydia Kandou yang beragama kristen dan Jamal Mirdad yang beragama Islam.  Pasangan ini tetap ingin menikah di Indonesia dan memperjuangkan status mereka di Pengadilan Negeri. Pada waktu itu banyak tentangan dan kecaman dari seluruh lapisan masyarakat secara terus menerus.
Langkah awal yang ditempuh Jamal Mirdad & Lydia Kandou adalah mengajukan permohonan ke Kantor Urusan Agama, namun upaya itu ditolak oleh KUA. Kemudian mereka ke Kantor Catatan Sipil sebagai jalan tengah, tetapi itu juga tidak bisa dilalui mereka dengan lancar, upaya Jamal Mirdad & Lydia Kandou tidak berhenti sampai disitu. Mereka menempuh melalui jalur pengadilan,dari hal itu Hakim Endang Sri Kawuryan mengizinkan mereka menikah. Dengan izin itu, pada 30 Juni 1986, Jamal dan Lydia resmi menikah.
Jamal Mirdad & Lydia Kandou  terselamatkan bisa menikah di Kantor Catatan Sipil karena setelah mereka menikah, sejak 12 Agustus 1986, Kantor Catatan Sipil Jakarta mengeluarkan keputusan, yang pada intinya menolak menikahkan pasangan berbeda agama, khususnya laki - laki Islam dan wanita beragama lain, "KANTOR CATATAN SIPIL hanya melaksanakan pencatatan perkawinan yang sudah sah menurut agama. Yakni, setelah melangsungkan di gereja, vihara, atau pura.


C. ANALISIS

Perkawinan Beda Agama Menurut Hukum Positif Indonesia

Sebagaimana telah disebutkan diatas bahwa dasar hukum perkawinan di Indonesia yang berlaku sekarang ada beberapa peraturan ,diantaranya adalah:
1. Buku I Kitab Undang-undang Hukum Perdata
2. UU No. 1/1974 tentang Perkawinan
3. UU No. 7/1989 tentang Peradilan Agama
4. PP No. 9/1975 tentang Peraturan Pelaksana UU No.1/1974
5. Intruksi Presiden No. 1/1991 tentang Kompilasi Hukum Islam di Indonesia
Dalam Kompilasi Hukum Islam mengkategorikan perkawinan antar pemeluk agama dalam bab larangan perkawinan. Pada pasal 40 point c dinyatakan bahwa dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria dengan seorang wanita yang tidak beragama Islam. Kemudian dalam pasal 44 dinyatakan bahwa seorang wanita Islam dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang pria yang tidak beragama Islam. KHI tersebut selaras dengan pendapat Prof. Dr. Hazairin S.H., yang menafsirkan pasal 2 ayat 1 beserta penjelasanya bahwa bagi orang Islam tidak ada kemungkinan untuk menikah dengan melanggar hukum agamanya.
Dalam KHI telah dinyatakan dengan jelas bahwa perkawinan beda agama jelas tidak dapat dilaksanakan selain kedua calon suami isteri beragama Islam. Sehingga tidak ada peluang bagi orang-orang yang memeluk agama Islam untuk melaksanakan perkawinan antar agama.
Kenyataan yang terjadi dalam sistem hukum Indonesia, perkawinan antar agama dapat terjadi. Hal ini disebabkan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan memberikan peluang tersebut terjadi, karena dalam peraturan tersebut dapat memberikan beberapa penafsiran bila terjadi perkawinan antar agama.
Berdasarkan UU No. 1/1974 pasal 66, maka semua peraturan yang mengatur tentang perkawinan sejauh telah diatur dalam UU No. 1/1974, dinyatakan tidak berlaku lagi yaitu perkawinan yang diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata / BW, Ordonansi Perkawinan Indonesia Kristen dan peraturan perkawinan campuran. Secara a contrario, dapat diartikan bahwa beberapa ketentuan tersebut masih berlaku sepanjang tidak diatur dalam UU No. 1/1974.
Mengenai perkawinan beda agama yang dilakukan oleh pasangan calon suami isteri dapat dilihat dalam UU No.1/1974 tentang perkawinan pada pasal 2 ayat 1, bahwa Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya. Pada pasal 10 PP No.9/1975 dinyatakan bahwa, perkawinan baru sah jika dilakukan dihadapan pegawai pencatat dan dihadiri dua orang saksi. Dan tata cara perkawinan dilakukan menurut hukum masing-masing Agamanya dan kepercayaannya.
Dalam memahami perkawinan beda agama menurut undang-undang Perkawinan ada tiga penafsiaran yang berbeda. Pertama, penafsiran yang berpendapat bahwa perkawinan beda agama merupakan pelanggaran terhadap UU No. 1/1974 pasal 2 ayat 1 jo pasal 8 f. Pendapat kedua, bahwa perkawinan antar agama adalah sah dan dapat dilangsungkan, karena telah tercakup dalam perkawinan campuran, dengan argumentasi pada pasal 57 tentang perkawinan campuran yang menitikberatkan pada dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, yang berarti pasal ini mengatur perkawinan antara dua orang yang berbeda kewarganegaraan juga mengatur dua orang yang berbeda agama. Pendapat ketiga bahwa perkawinan antar agama sama sekali tidak diatur dalam UU No. 1/1974, oleh karena itu berdasarkan pasal 66 UU No. 1/1974 maka persoalan perkawinan beda agama dapat merujuk pada peraturan perkawinan campuran, karena belum diatur dalam undang-undang perkawinan.

Perbedaan Pandangan Tentang Perkawinan Beda Agama

Pendapat yang menyatakan perkawinan beda agama merupakan pelanggaran terhadap UU No. 1/1974 pasal 2 ayat 1 jo pasal 8 f, maka instansi baik KUA dan Kantor Catatan Sipil dapat menolak permohonan perkawinan beda agama berdasarkan pada pasal 2 ayat 1 jo pasal 8 f UU No. 1/1974 yang menyatakan bahwa perkawinan adalah sah, jika dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. Dalam penjelasan UU ditegaskan bahwa dengan perumusan pasal 2 ayat 1, maka tidak ada perkawinan di luar hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. Ketentuan pasal tersebut berarti bahwa perkawinan harus dilakukan menurut hukum agamanya, dan ketentuan yang dilarang oleh agama berarti dilarang juga oleh undang-undang perkawinan. Selaras dengan itu, Prof. Dr. Hazairin S.H., menafsirkan pasal 2 ayat 1 beserta penjelasanya bahwa bagi orang Islam tidak ada kemungkinan untuk menikah dengan melanggar hukum agamanya., demikian juga bagi mereka yang beragama Kristen, Hindu, Budha.
Pendapat yang menyatakan bahwa perkawinan antar agama adalah sah dan dapat dilangsungkan, karena telah tercakup dalam perkawinan campuran, dengan argumentasi pada pasal 57 tentang perkawinan campuran yang menitikberatkan pada dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, yang berarti pasal ini mengatur perkawinan antara dua orang yang berbeda kewarganegaraan juga mengatur dua orang yang berbeda agama.
Pada pasal 1 Peraturan Perkawinan campuran menyatakan bahwa perkawinan campuran adalah perkawinan antara orang-orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan. Akibat kurang jelasnya perumusan pasal tersebut, yaitu tunduk pada hukum yang berlainan, ada beberapa penafsiran dikalangan ahli hukum.
Pendapat pertama menyatakan bahwa perkawinan campuran hanya terjadi antara orang-orang yang tunduk pada hukum yang berlainan karena berbeda golongan penduduknya. Pendapat kedua menyatakan bahwa perkawinan campuran adalah perkawinan antara orang-orang yang berlainan agamanya. Pendapat ketiga bahwa perkawinan campuran adalah perkawinan antara orang-orang yang berlainan asal daerahnya.
Pendapat yang menyatakan bahwa perkawinan antar agama sama sekali tidak diatur dalam UU No. 1/1974, oleh karena itu berdasarkan pasal 66 UU No. 1/1974 maka persoalan perkawinan beda agama dapat merujuk pada peraturan perkawinan campuran, karena belum diatur dalam undang-undang perkawinan. Berdasarkan pasal 66 UU No. 1/1974, maka semua peraturan yang mengatur tentang perkawinan sepanjang telah diatur dalam UU No. 1/1974, dinyatakan tidak berlaku lagi yaitu perkawinan yang diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata / BW, Ordonansi Perkawinan Indonesia Kristen dan peraturan perkawinan campuran. Artinya beberapa ketentuan tersebut masih berlaku sepanjang tidak diatur dalam UU No. 1/1974.

Pendapat Hukum Terhadap Perkawinan Beda Agama

Merujuk pada Undang-undang No. 1/1974 pada pasal 57 yang menyatakan bahwa perkawinan campuran adalah perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia.
Berdasarkan pada pasal 57 UU No. 1/1974, maka perkawinan beda agama di Indonesia bukanlah merupakan perkawinan campuran. Sehingga semestinya pengajuan permohonan perkawinan beda agama baik di KUA dan Kantor Catatan Sipil dapat ditolak.
Menurut Purwoto S. Gandasubrata bahwa perkawinan campuran atau perkawinan beda agama belum diatur dalam undang-undang secara tuntas dan tegas. Oleh karenanya, ada Kantor Catatan Sipil yang tidak mau mencatatkan perkawinan beda agama dengan alasan perkawinan tersebut bertentangan dengan pasal 2 UU No.1/1974. Dan ada pula Kantor Catatan Sipil yang mau mencatatkan berdasarkan GHR, bahwa perkawinan dilakukan menurut hukum suami, sehingga isteri mengikuti status hukum suami.
Ketidakjelasan dan ketidaktegasan Undang-undang Perkawinan tentang perkawinan antar agama dalam pasal 2 adalah pernyataan “menurut hukum masing-masing agama atau kepercayaannya”. Artinya jika perkawinan kedua calon suami-isteri adalah sama, tidak ada kesulitan. Tapi jika hukum agama atau kepercayaannya berbeda, maka dalam hal adanya perbedaan kedua hukum agama atau kepercayaan itu harus dipenuhi semua, berarti satu kali menurut hukum agama atau kepercayaan calon dan satu kali lagi menurut hukum agama atau kepercayaan dari calon yang lainnya.
Dalam praktek perkawinan antar agama dapat dilaksanakan dengan menganut salah satu cara baik dari hukum agama atau kepercayaan si suami atau si calon isteri. Artinya salah calon yang lain mengikuti atau menundukkan diri kepada salah satu hukum agama atau kepercayaan pasangannya.
Dalam mengisi kekosongan hukum karena dalam UU No. 1/1974 tidak secara tegas mengatur tentang perkawinan antar agama. Mahkamah Agung sudah pernah memberikan putusan tentang perkawinan antar agama pada tanggal 20 Januari 1989 Nomor: 1400 K/Pdt/1986.
Dalam pertimbangan MA adalah dalam UU No. 1/1974 tidak memuat suatu ketentuan tentang perbedaan agama antara calon suami dan calon isteri merupakan larangan perkawinan. Dan hal ini sejalan dengan UUD 1945 pasal 27 yang menyatakan bahwa segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum, tercakup di dalamnya kesamaan hak asasi untuk kawin dengan sesama warga negara sekalipun berlainan agama dan selama oleh undang-undang tidak ditentukan bahwa perbedaan agama merupakan larangan untuk perkawinan, maka asas itu adalah sejalan dengan jiwa pasal 29 UUD 1945 tentang dijaminnya oleh negara kemerdekaan bagi setiap warga negara untuk memeluk agama masing-masing.
Dengan tidak diaturnya perkawinan antar agama di UU No. 1/1974 dan dalam GHR dan HOCI tidak dapat dipakai karena terdapat perbedaan prinsip maupun falsafah yang sangat lebar antara UU No. 1/1974 dengan kedua ordonansi tersebut. Sehingga dalam perkawinan antar agama terjadi kekosongan hukum.
Di samping kekosongan hukum juga dalam kenyataan hidup di Indonesia yang masyarakatnya bersifat pluralistik, sehingga tidak sedikit terjadi perkawinan antar agama. Maka MA berpendapat bahwa tidak dapat dibenarkan terjadinya kekosongan hukum tersebut, sehingga perkawinan antar agama jika dibiarkan dan tidak diberiakan solusi secara hukum, akan menimbulkan dampak negatif dari segi kehidupan bermasyarakat maupun beragama berupa penyelundupan-penyelundupan nilai-nilai sosial maupun agama serta hukum positif, maka MA harus dapat menentukan status hukumnya.
Mahkamah Agung dalam memberikan solusi hukum bagi perkawinan antar agama adalah bahwa perkawinan antar agama dapat diterima permohonannya di Kantor Catatan Sipil sebagai satu-satunya instansi yang berwenang untuk melangsungkan permohonan yang kedua calon suami isteri tidak beragama Islam untuk wajib menerima permohonan perkawinan antar agama.
Dari putusan MA tentang perkawinan antar agama sangat kontroversi, namun putusan tersebut merupakan pemecahan hukum untuk mengisi kekosongan hukum karena tidak secara tegas dinyatakan dalam UU No. 1/1974.
Putusan Mahkamah Agung Reg. No. 1400 K/Pdt/1986 dapat dijadikan sebagai yurisprudensi, sehingga dalam menyelesaikan perkara perkawinan antar agama dapat menggunakan putusan tersebut sebagai salah satu dari sumber-sumber hukum yang berlaku di Indonesia.
Dalam proses perkawinan antar agama maka permohonan untuk melangsungkan perkawinan antar agama dapat diajukan kepada Kantor Catatan Sipil. Dan bagi orang Islam ditafsirkan atas dirinya sebagai salah satu pasangan tersebut berkehendak untuk melangsungkan perkawinan tidak secara Islam. Dan dengan demikian pula ditafsirkan bahwa dengan mengajukan permohonan tersebut pemohon sudah tidak lagi menghiraukan status agamanya. Sehingga pasal 8 point f UU No. 1/1974 tidak lagi merupakan halangan untuk dilangsungkan perkawinan, dengan anggapan bahwa kedua calon suami isteri tidak lagi beragama Islam. Dengan demikian Kantor Catatan Sipil berkewajiban untuk menerima permohonan tersebut bukan karena kedua calon pasangan dalam kapasitas sebagai mereka yang berbeda agama, tetapi dalam status hukum agama atau kepercayaan salah satu calon pasangannya.
Bentuk lain untuk melakukan perkawinan antar agama dapat dilakukan dengan cara melakukan perkawinan bagi pasangan yang berbeda agama tersebut di luar negeri. Berdasarkan pada pasal 56 UU No. 1/1974 yang mengatur perkawinan di luar negeri, dapat dilakukan oleh sesama warga negara Indonesia, dan perkawinan antar pasangan yang berbeda agama tersebut adalah sah bila dilakukan menurut hukum yang berlaku di negara di mana perkawinan itu berlangsung.
Setelah suami isteri itu kembali di wilayah Indonesia, paling tidak dalam jangka waktu satu tahun surat bukti perkawinan dapat didaftarkan di kantor pencatatan perkawinan tempat tinggal mereka. Artinya perkawinan antar agama yang dilakukan oleh pasangan suami isteri yang berbeda agama tersebut adalah sah karena dapat diberikan akta perkawinan.

permasalahan yang dapat timbul apabila dilangsungkannya suatu perkawinan beda agama antara lain:
  1. Keabsahan perkawinan. Mengenai sahnya perkawinan yang dilakukan sesuai agama dan kepercayaanya yang diatur dalam pasal 2 ayat (1) UUP. Hal ini berarti UU Perkawinan menyerahkan keputusannya sesuai dengan ajaran dari agama masing-masing. Namun, permasalahannya apakah agama yang dianut oleh masing-masing pihak tersebut membolehkan untuk dilakukannya perkawinan beda agama. Misalnya, dalam ajaran islam wanita tidak boleh menikah dengan laki-laki yang tidak beragama Islam [Al Baqarah (2):221]. Selain itu juga dalam ajaran Kristen perkawinan beda agama dilarang (I Korintus 6: 14-18).

  1. Pencatatan perkawinan. Apabila perkawinan beda agama tersebut dilakukan oleh orang yang beragama Islam dan Kristen, maka terjadi permasalahan mengenai pencatatan perkawinan. Apakah di Kantor Urusan Agama atau di Kantor Catatan Sipil oleh karena ketentuan pencatatan perkawinan untuk agama Islam dan di luar agama Islam berbeda. Apabila ternyata pencatatan perkawinan beda agama akan dilakukan di Kantor Catatan Sipil, maka akan dilakukan pemeriksaan terlebih dahulu apakah perkawinan beda agama yang dilangsungkan tersebut memenuhi ketentuan dalam pasal 2 UUP tentang syarat sahnya suatu perkawinan. Apabila pegawai pencatat perkawinan berpendapat bahwa terhadap perkawinan tersebut ada larangan menurut UUP maka ia dapat menolak untuk melakukan pencatatan perkawinan [pasal 21 ayat (1) UUP].

  1. Status anak. Apabila pencatatan perkawinan pasangan beda agama tersebut ditolak, maka hal itu juga akan memiliki akibat hukum terhadap status anak yang terlahir dalam perkawinan. Menurut ketentuan pasal 42 UUP, anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah. Oleh karena tidak dilakukannya pencatatan perkawinan, maka menurut hukum anak tersebut bukanlah anak yang sah dan hanya memiliki hubungan perdata dengan ibunya atau keluarga ibunya [pasal 2 ayat (2) jo. pasal 43 ayat (1) UUP].

  1. Perkawinan beda agama yang dilakukan di luar negeri. Apabila ternyata perkawinan beda agama tersebut dilakukan di luar negeri, maka dalam kurun waktu satu tahun setelah suami istri itu kembali ke wilayah Indonesia harus mendaftarkan surat bukti perkawinan mereka ke Kantor Pencatatan Perkawinan tempat tinggal mereka [pasal 56 ayat (2) UUP]. Permasalahan yang timbul akan sama seperti halnya yang dijelaskan dalam poin 2. Meskipun tidak sah menurut hukum Indonesia, bisa terjadi Catatan Sipil tetap menerima pendaftaran perkawinan tersebut. Pencatatan di sini bukan dalam konteks sah tidaknya perkawinan, melainkan sekedar pelaporan administratif

D. Kesimpulan

Dari uraian tersebut diatas, dengan ini penulis kemukakan beberapa hal sebagai kesimpulan, sebagai berikut :
1.      Undang-Undang No.1/1974 tentang Ketentuan Pokok Perkawinan, tidak mengatur tentang perkawinan beda agama. Oleh karena itu perkawinan antar agama tidak dapat dilakukan berdasarkan pada pasal 2 ayat 1 UU No.1/1974, bahwa perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya. Dan pada pasal 10 PP No.9/1975 dinyatakan bahwa, perkawinan baru sah jika dilakukan dihadapan pegawai pencatat dan dihadiri dua orang saksi. Dan tata cara perkawinan dilakukan menurut hukum masing-masing Agamanya dan kepercayaannya.
2.      Dalam mengisi kekosongan hukum karena dalam UU No. 1/1974 tidak secara tegas mengatur tentang perkawinan antar agama, Mahkamah Agung dalam yurisprudensinya tanggal 20 Januari 1989 Nomor: 1400 K/Pdt/1986, memberikan solusi hukum bagi perkawinan antar agama adalah bahwa perkawinan antar agama dapat diterima permohonannya di Kantor Catatan Sipil sebagai satu-satunya instansi yang berwenang untuk melangsungkan permohonan yang kedua calon suami isteri tidak beragama Islam untuk wajib menerima permohonan perkawinan antar agama.
3.      Dalam proses perkawinan antar agama maka permohonan untuk melangsungkan perkawinan antar agama dapat diajukan kepada Kantor Catatan Sipil. Dan bagi orang Islam ditafsirkan atas dirinya sebagai salah satu pasangan tersebut berkehendak untuk melangsungkan perkawinan tidak secara Islam. Dan dengan demikian pula ditafsirkan bahwa dengan mengajukan permohonan tersebut pemohon sudah tidak lagi menghiraukan status agamanya. Sehingga pasal 8 point f UU No. 1/1974 tidak lagi merupakan halangan untuk dilangsungkan perkawian, dengan anggapan bahwa kedua calon suami isteri tidak lagi beragama Islam. Dengan demikian Kantor Catatan Sipil berkewajiban untuk menerima permohonan tersebut bukan karena kedua calon pasangan dalam kapasitas sebagai mereka yang berbeda agama, tetapi dalam status hukum agama atau kepercayaan salah satu calon pasangannya.
4.      Perkawinan antar agama dapat juga dilakukan oleh sesama warga negara Indonesia yang berbeda agama dengan cara melakukan perkawinan tersebut di luar negeri.




E. DAFTAR PUSTAKA

BUKU :
1.      Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam, Cet. 5, Jakarta: Akamedika Pressindo,. 2004. 
2.      Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
3.      Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
INTERNET :

MAKALAH DAMPAK MENYALAKAN LAMPU KENDARAAN BERMOTOR DI SIANG HARI


BAB
I
PENDAHULUAN
A.  LATAR BELAKANG MASALAH
Masyarakat adalah orang atau kelompok yang saling menyatu dan mengadakan hubungan dalam kehidupannya sehari hari. Mereka mempunyai peran penting dalam kehidupan bernegara di negara ini. Masyarakat juga sangat sensitif dengan semua aturan yang baru di berlakukan oleh pemerintah termasuk peraturan yang bersifat tidak masuk akal. Contohnya seperti menyalakan lampu kendaraan bermotor di siang hari, yang menurut sebagian orang itu hanya menambah kerusakan lkingkungan dengan meningkatnya CO3 di udara saat siang hari. Dengan adanya kasus misalnya beberapa waktu setelah diadakannya undang undang lalu lintas tentang menyalakan lampu sepeda motor di siang hari banyak protes dari berbagai lapisan masyarakat yang menganggap itu aneh dan tidak masuk akal serta hanya sebagai permainan pemerintah untuk memperkaya diri. Tetapi pemerintah tetap melanjutkan apa yang sudah di buat dan direncanakan dengan seluruh pejabat negara itu.
Pada dasarnya menyalakan lampu kendaraan bermotor di siang hari menyamakan dengan peraturan lalu lintas di negara tetangga yaitu Singapura. Yang mana di sana tinggkat kendaraan bermotor lebih sedikit sehingga diharuskan meyalakan lampu di siang hari. Tetapi berbeda dengan negara kita yang tingkat kendaraan beroda empat lebih tinggi, yang seharusnya kendaraan beroda empat lah yang harus menyalakan lampu di siang hari.
Demikian semua warga masyarakat diharapkan lebih bersikap kritis dengan segala kebijakan kebijakan yang dibuat oleh segenap pejabat pemerintahan, agar kebijakan tersebut dapat mempersatukan kita semua bukan untuk mencari keuntungan secara mutualisme saja.






B.  RUMUSAN MASALAH
  1. Apa sajakah pengaruh yang timbul dari menyalakan lampu di kehidupan bermasyarakat ?
  2. Apa alasan dari pemerntah dengan memberlakukan Undang Undang menyalakan lampu kendaraan bermotor di siang hari ?
  3. Apa sajakah metode yang diperlukan pemerintah agar peraturan tersebut dapat dipatuhi oleh warga masyarakat ?
  4. Bagaimana respon dari warga mayarakat dengan ditetapkannya peraturan tersebut ?
C.  TUJUAN MASALAH
  1. Mengetahui pengaruh menyalakan lampu kendaraan bermotor di siang hari.
  2. Mengetahui dengan jelas alasan kebijakan pemerintah tentang lalu lintas ditetapkan.
  3. Mengetahui berbagai metode yang diperlukan supaya masyarakat dapat mematuhi aturan tersebut.
  4. Mengetahui respon masyarakat mengenai penetapan UU No. 22 tahun 2009, dan Pasal 107 ayat 2 UUD 1945.

BAB
 II
PEMBAHASAN
A.           AKIBAT YANG DIBERIKAN DARI MENYALAKAN LAMPU MOTOR DI SIANG HARI
Negara Indonesia ini adalah negara yang memiliki jumlah penduduk sekitar 22 juta jiwa, dengan kepadatan penduduk yang terus meningkat setiap tahunnya. Setiap kali pemerintahan berganti tangan pengusa maka adapula peraturan baru dan peraturan yang dihapus. Semua peraturan pemerintah yang telah lama atau pun masih baru pasti mempunyai sebab dan akibat dari proses pembuatan dan pelaksanaannya. Salah satunya seperti peraturan UU No. 22 Tahun 2009, pasal 107 (2) UUD 1945 yang mengatur tentang peraturan lalu lintas dan angkutan jalan. Contohnya deangan menyalakan lampu kendaraan bermotor di siang hari, bagi sebagian orang mungkin ini dianggap hal yang biasa biasa saja karena lampu tidak akan menyebabkan bahaya seperti luka. Tetapi tanpa disadari kita semua yang menyalakan lampu motor di siang hari sedang menabung perusakan lapisan ozon yang menyebabkan bumi ini menjadi rentan akan bahaya yang diluar perkiraan.
Peraturan tentang menyalakan lampu kendaraan bermotor di siang hari ini belum lama dikeluarkan di Indonesia. Seperti biasanya, setiap peraturan baru yang bertentangan dengan respon dari warga masyarakat pasti akan adanya konflik. Begitu pula peraturan ini yang setelah di keluarkan dan dilaksanakan terjadi protes keras dari masyarakat dengan peraturan yang dianggap kurang masuk akal, malah akan menambah polusi lingkungan. Berdasarkan pancasila sila ke 5 yang berbunyi keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Di sila 5 ini dijelaskan bahawa semua warga negara berhak menerima keadilan dalam berbagai aspek kehidupan termasuk ikut dalam pembuatan peraturan pemerintah yang juga mengatur semua tindakan tindakan dalam kehidupan kenegaraan ini.
Akibat dari menyalakan lampu kendaraan bermotor di siang hari mempunyai pengaruh positif dan negatif yaitu
  1. Pengaruh Positif Dari Peraturan UU No. 22 Tahun 2009, Pasal 107 (2) UUD 1945
a.       Mengurangi angka angka kecelakaan lalu lintas khususnya kendaraan beroda dua
b.      Mengurangi angka kematian di jalan
c.       Meningkatkan kewaspadaan dengan kendaraan lain di sekitar kita
d.      Mengurangi penyebab saling bersenggolan di jalan raya
  1. Pengaruh Negatif Dari Peraturan UU No. 22 Tahun 2009, Pasal 107 (2) UUD 1945
1.      Mengurangi jangka waktu daya pakai aki karena digunakan secara terus menerus
2.      Mengurangi jangka waktu daya pakai lampu karena dipakai siang dan malam hari
3.      Meningkatnya pengeluaran si pengendara yang seharusnya bisa digunakan untuk hal yang lebih penting
4.      Meningkatkan efek Global warming
5.      Menyilaukan mata pejalan kaki, dan pengendara sepeda motor lainnya
6.      Mengurangi efisiensi mesin motor saat dipakai sehingga performa tidak maksimal
7.      Membuat suhu udara lingkungan menjadi lebih panas karena efek yang ditimbulkan dari pancaran lampu motor tersebut

B.            ALASAN PEMERINTAH MENYURUH MENYALAKAN LAMPU KENDARAAN BERMOTOR DI SIANG HARI
Sebagian alasan kenapa pemerintah menyuruh  pengguna sepeda motor menyalakan lampu sepeda motor disiang hari yaitu demi kebaikan bersama tetapi kebaikan bersama dengan adanya pro dan kontra sehingga menjadi kebingungan pada masyarakat. Akan tetapi masyarakat akan tahu jika disosialisasikan secara akurat dan tepat. Kita tahu kendaraan apa saja itu ada spion nya, kalau tidak ada spion akan mengalami kesulitan terutama bagi kendaraan beroda empat. Spion itu sangat penting dan berguna untuk melihat kebelakang, yang biasa dilakukan waktu dijalan raya yaitu pada waktu dijalan kita ingin mendahului atau apa sopir akan melihat spion kanan dan kiri untuk mengecek kendaraan mana yang melintas karena bunyi klakson lebih lemah dan cepat rambat cahaya, karena secara ilmiah cepat rambat cahaya lebih cepat daripada cepat rambat suara dari kejauhan, ketika ada yang ingin mendahului jalan kita dari belakang. Bahwa manfaat paling besar dan menonjol dari menyalakan lampu disiang hari adalah pengendara lain lebih waspada dan mengetahui keberadaan kendaraan lain disekitarnya. Berarti lampu kendaraan walau siang hari akan segera terlihat oleh kendaraan lainnya melalui spion, daripada memberikan klakson .
Menyalakan lampu di siang hari wajib dilakukan setiap pengendara sepeda motor saat berkendara di jalan raya. Pasalnya banyak keuntungan yang akan diperoleh pengendara motor, salah satunya adalah faktor keselamatan. Namun di beberapa jalanan Ibukota, masih banyak pengendara sepeda motor yang enggan menyalakan lampu di siang hari, meski aturan tersebut telah diatur dalam UU Lalu Lintas Nomor 22 Tahun 2009.
Pasal 293 ayat (2) menyatakan, setiap pengendara sepeda motor di jalan raya dan bergerak tanpa menyalakan lampu utama pada siang hari sebagaimana dimaksud dalam pasal 107 ayat (2) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 15 hari atau denda paling banyak Rp 100 ribu.
Saat mengendarai kendaraan, mata adalah salah satu panca indera yang paling penting. Indera mata itulah yang menjadi sensor penghindar kecelakaan. Untuk dapat memberikan respon, mata membutuhkan suatu bentuk stimulus awal. Syarat utama terjadinya hubungan stimulus respon bukanlah jarak, tetapi adanya saling kesesuaian antara stimulus dan respon.
Jika seseorang melihat objek, maka stimulus yang mengenai mata bukanlah objeknya secara langsung, tetapi sinar yang dipantulkan oleh objek tersebut yang bekerja sebagai stimulus yang mengenai mata. Mata bekerja dengan cara menangkap pantulan sinar yang diperoleh pada jarak pandang mata. Pantulan-pantulan itu akan menentukan persepsi pengendara terhadap warna, bentuk dan jarak.
Semua variabel hasil pengukuran ini jelas memengaruhi reaksi pengendara kendaraan tersebut. Sinyal dari mata akan diteruskan ke otak yang berfungsi sebagai pengendali, kemudian menghasilkan stimulasi gerakan tubuh yang dalam hal ini sebagai aktuator untuk menjaga kestabilan dan gerak laju kendaraan.
Dengan contoh, lakukan simulasi sederhana dengan menengok kaca spion, tempatkan dua kendaraan bermotor di belakang Anda, dimana salah satunya dimatikan lampunya sementara satunya dinyalakan lampunya. Maka, ketika mata Anda memandang ke banyak objek yang ada di jalan, fokus mata akan mudah tertuju kepada objek-objek yang memiliki sinar daripada tidak.
Efek positif dari menyalakan lampu kendaraan bermotor adalah, lampu merupakan alat yang dapat memproduksi cahaya dan cahaya itu adalah radiasi elektromagnetik yang mampu menyebabkan rangsangan kasat mata (visibilitas). Sementara, mengemudi kendaraan bermotor adalah aktivitas dinamis akibat adanya perubahan situasi.
Secara umum kemampuan otak dan koordinasi fisik manusia hanya mampu bereaksi secara antisipatif terhadap benda yang bergerak dengan kecepatan 5-10 km/jam. Oleh karena itu reaksi antisipasi akan lamban jika sewaktu-waktu ada sepeda motor dipacu hingga kecepatan mencapai 100 km/jam. Ini karena kecepatan reaksi adalah jumlah stimulus yang diindera sangat berhubungan erat dengan unit waktu.
Karena itulah, mata membutuhkan cahaya, yang dalam kasus ini dihasilkan oleh lampu sepeda motor. Dengan adanya bantuan cahaya, maka mata sebagai sensor akan cepat merangsang interpretasi pengemudi terhadap suatu benda, sehingga mempercepat waktu untuk bereaksi. Mata akan lebih reaktif memprediksi jarak kendaraan lain, mengirim sinyal-sinyal ke otak dan kemudian mengkoordinasikannya dengan pergerakan tubuh.
Cahaya lampu tersebut juga dapat mengurangi kondisi fatamorgana yang timbul akibat uap panas dari aspal jalanan. Karena itulah menyalakan lampu di siang hari diberlakukan sebagai upaya memicu kecepatan reaksi antisipasi pengemudi, sehingga mengurangi kemungkinan terjadinya kecelakaan.
Ditlantas Polda Metro Jaya telah membuktikan bahwa dengan adanya penerapan aturan menyalakan lampu dapat menekan angkat kecelakaan hingga lebih dari 20 persen hanya dalam jangka waktu dua bulan. Di Surabaya, pada tahun 2005, program ini berhasil mencatat penurunan angka kecelakaan sepeda motor hingga 50 persen. Sedangkan di negara lain, seperti Malaysia, Thailand bahkan Amerika dan Eropa, kecelakaan dapat dikurangi hingga mencapai 30 persen.
Hasil persentase pada daerah atau negara lain di atas membuktikan tingkat efektifitas menyalakan lampu dapat menurunkan angka kecelakaan lalu lintas
Masih tersisa sedikit harapan semoga dalam Peraturan Pemerintah dan Petunjuk Teknis lebih lanjut dalam penerapan UU No.22 Tahun 2009 yang akan diterbitkan oleh instansi yang berwewenang dalam waktu dekat ini dapat memikirkan dampak-dampak lain dari pada pelaksanaan pasal 107 ayat 2 tersebut agar tidak mencederai publik pengguna jalan dan budaya mengadopsi kebiasaan Negara lain itu bukan hal yang bermartabat bila bertentangan dengan nilai akar budaya dan nilai-nilai budaya bangsa Indonesia yang kita junjung tinggi selama ini. Selamat kepada Kepolisian Republik Indonesia satu lagi terobosan baru dalam mengendalikan kecelakaan lalu lintas para pengendara sepeda motor dijalan raya, semoga bermanfaat bagi masyarakat.

C.            METODE YANG DIGUNAKAN PEMERINTAH DALAM PEMATUHAN UNDANG UNDANG
Beberapa metode supaya masyarakat mematuhi peraturan tersebut adalah :
1.      Sosialisasi
Sosialisasi tentang peraturan dan kebijakan menyalakan lampu motor di siang hari harus direalisasikan agar orang tahu maksud dan tujuan poeraturan itu. Dibuatnya peraturan ini supaya masyarakat tahu ketika mereka berada di jalan mereka harus sudah menyalakan lampu kendaraan mereka di siang hari dan tentunya tidak kebingungan. Jika lampu kendaraan tidak dinyalakan maka masyarakat di jalan raya akan sulit melihat kendaraan bermotor di belakangnya. Apabila ketika masyarakat tidak menyalakan lampu utama mereka, polisi akan segera bertindak dengan memberikan sanksi sesuai dengan UU No. 22 tahun 2009 tentang lalulintas dan angkutan darat.
Sosialisasi sering kali tidak dianggap oleh masyarakat dengan baik karena banyaknya aturan dari pemerintah terdahulu yang sering dilanggar. Harusnya sosialisasi tersebut  dijelaskan dengan baik dan benar, sehingga mudah dipahami dan mengerti akan asal usul peraturan tersebut mengapa harus dilaksanakan untuk kendaraan bermotor.
2.      Kesadaran Diri
Kesadaran diri adalah suatu hal yang sulit mungkin amat sulit bagi segelintir orang yang tidak ingin berusaha lebih baik. Kesadaran diri ini sangat menentukan seberapa besar peraturan ini akan ditaati oleh seluruh masyarakat. Sama halnya dengan peraturan menyalakan lampu kendaraan bermotor di siang hari ini harus ada kesadaran dari masing-masing pengendara motor yang ada di jalan raya. Banyak pengendara sepeda motor yang sengaja ataupun tidak sengaja lupa menyalakan lampu utama motor mereka.  Karena mereka menganggap itu hal yang sepele, tetapi jika mereka telah terkena snksi dari pelanggaran yang mereka buat sendiri tentulah mereka tidak akan mengulangi nya lagi.
Akan tetapi anggota polisi yang biasa menegur pelanggar kendaraan bermotor, sering kali bersikap seolah-olah kejam dan tidak peduli dengan mereka sehingga masyarakat yang menghadapi mereka menjadi emosi.

3.      Kerjasama
Hal ini sagat membantu dalam menegakan peraturan yang kita buat bersama dan akan pula berakibat untuk kita bersama. Dalam kerjasama harus ada partisipasi masyarakat dalam membantu menegakan peraturan yang telah pemerintah tetapkan demi kepentingan masyarakat sendiri. Itu harus dilakukan oleh segenap masyarakat agar timbul rasa harmonis dan tertib, dan masyarakat lain yang belum bisa bekerjasama haruslah lebih menghargai orang yang telah bisa bekerja sama dengan pemerintah supaya tidak terjadi konflik diantara mereka. Pengendara kendaraan bermotor juga harus menghargai dan menghormati para pejalan kaki sesuai dengan situasi dan kondisi dari jalan yang mereka lewati tersebut, agar tidak terjadi hal-hal yang sebenarnya bisa diantisipasi. Contohnya seperti tabrakan antara pengendara motor dengan pejalan kaki, pejalan kaki yang terserempet sepeda motor, dan lain sebagainya.

D.           RESPON DARI MASYARAKAT TERHADAP PENETAPAN PERATURAN YANG TELAH DIBUAT PEMERINTAH SESUAI UU NO. 22 TAHUN 2009, PASAL 107 (2) UUD 1945
Setiap peraturan dan ketetapan yang dibuat pemerintah pasti ada respon atau tanggapan dari para warganya mengenai peraturan tersebut. Baik dalam tanggapan positif maupun tanggapan negatif. Yang sebenarnya tanggapan ini dapat mendukung berdirinya peraturan peraturan pemerintah yang kan datang, karena dengan respon ini pemerintah dapat lebih memikirkan dampak bagi masyarakat yang mungkin terjadi.
 Sebagai contoh tanggapan positif dan negatif dari lapisan masyarakat tentang penetapan peraturan menyalakan lampu kendaraan bermotor di siang hari :
A.    RESPON POSITIF
·         Peraturan ini sangat bermanfaat ketika lampu kendaraan bermotor dinyalakan di siang hari  para pengguna jalan lebih waspada dan siaga dalam berkendara. Seperti halnya jika di belakang kita ada kendaraan bermotor maka kita dengan mudahnya mengetahui dari kaca spion yang pastinya ada pantulan cahaya dari lampu utama kendaraan tersebut.
·         Berhubungan dengan penggunaan menyalakan lampu kendaraaan bermotor sangat baik untuk pengguna jalan raya. Artinya pengendara lainnya seperti mobil / motor atau pejalan kaki dari kejauhan mereka akan tahu bahwa ada motor yang akan melintas, sehingga mereka bisa lebih berhati-hati dalam berjalan. Setelah adanya peraturan menyalakan lampu kendaraan bermotor di siang hari, data kecelakaan menyebutkan bahwa kecelakan tahun ini menjadi menurun drastis, maka dari peraturan tersebut disimpulkan bahwa menyalakan lampu kendaraan bermotor di siang hari sangat bermanfaat bagi pengguna jalan.
B.     RESPON NEGATIF
·         Penggunaan aki yang berlebihan dari menyalakan lampu utama membuat cepat habis / mati, sehingga menjadi pemborosan pengguna kendaraan bermotor tersebut, yang mengakibatkan pemborosan Sumber daya lam ( SDA ).
·         Lampu kendaraanyang digunakan menjadi berumur pendek atau cepat putus, sehingga ini ini menyebabkan keborosan bagi pengguna kendaraan itu sendiri.

BAB
 III
PENUTUP
A.   KESIMPULAN
Dari pembahasan dan informasi di atas, maka penulis menyimpulkan bahwa dalam peraturan kendaraan bermotor yang menyalakan di siang hari yaitu kita harus mengetahui peraturan UU No. 22 Tahun 2009, pasal 107 (2) UUD 1945 yang mengatur tentang peraturan lalu lintas dan angkutan jalan yang berpengaruh positif dan negative mrnyalakan motor di siang hari mempunyai pengaruh positif dan negatif yaitu
Pengaruh Positif Dari Peraturan UU No. 22 Tahun 2009, Pasal 107 (2) UUD 1945
a.  Mengurangi angka angka kecelakaan lalu lintas khususnya kendaraan beroda dua
b.   Mengurangi angka kematian di jalan








B.   SARAN
DAFTAR PUSTAKA
Sidakaton safari.2013. Ini Alasan Lampu Sepeda Motor Harus Dinyalakan Siang Hari. http://www.tnol.co.id/techno-trend/20861-ini-alasan-lampu-sepeda-motor-harus-dinyalakan-siang-hari.html. Diakses tanggal 28 September 2013