ANALISIS KASUS PERKAWINAN BEDA AGAMA
LYDIA KANDOU DAN JAMAL MIRDAD
TUGAS HUKUM PERDATA
INTERNASIONAL
NAMA : FAIZAL
NIM : E1A013016
KELAS : B
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS NEGERI
ANALISIS KASUS PERKAWINANBEDA AGAMA
LYDIA
KANDOU DAN JAMAL MIRDAD
A. LATAR BELAKANG
Pernikahan
merupakan peristiwa yang sangat penting dalam masyarakat. Dengan hidup bersama,
kemudian melahirkan keturunan yang merupakan sendi utama bagi
pembentukan negara dan bangsa. Mengingat
pentingnya peranan hidup bersama, pengaturan mengenai perkawinan memang harus
dilakukan oleh negara. Di sini, negara berperan untuk melegalkan hubungan hukum
antara seorang pria dan wanita.
Masyarakat
Indonesia merupakan masyarakat yang majemuk, khususnya bila dilihat dari segi
etnis / suku bangsa dan agama. Konsekuensinya, dalam menjalani kehidupannya
masyarakat Indonesia dihadapkan kepada perbedaan – perbedaan dalam berbagai
hal, mulai dari kebudayaan, cara pandang hidup dan interaksi antar individunya.
Yang menjadi perhatian dari pemerintah dan komponen bangsa lainnya adalah
masalah hubungan antar umat beragama. Salah satu persoalan dalam hubungan antar
umat beragama ini adalah masalah Pernikahan Muslim dengan non-Muslim yang
selanjutnya kita sebut sebagai “pernikahan beda agama’
Masalah
ini menimbulkan perbedaan pendapat dari dua pihak pro dan kontra, masing-masing
pihak memiliki argumen rasional maupun argumen logikal yang berasal dari
penafsiran mereka masing-masing terhadap dalil-dalil tentang pernikahan beda
agama, karena masalah pernikahan adalah masalah yang sangat rumit dan sangat
fital khususnya bagi masyarakat muslim.
Perkawinan berbeda agama merupakan masalah
yang sangat sulit untuk dipecahkan tanpa penyelesaian dan penjelasan yang tuntas di negara kita
tercinta. Banyak pencari keadilan yang kandas dalam menuntut hak mereka supaya
dilegalkan. Seperti baru-baru ini Mahasiswa UI meminta uji materi terkait
legalisasi perkawinan berbeda agama ke Mahkamah Konstitusi.Dia berpendapat
bahwa ada potensi hak konstitusionalnya dirugikan.
Di Indonesia sendiri mempunyai peraturan yang
mengatur perkawinan dalam Undang-Undang No.1 tahun 1974 pasal 1 mendefinisikan bahwa: Perkawinan
adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami
istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa , namun dalam pelaksanaanya masih banyak kekurangan karena tidak diatur
secara tegas. Faktanya Negara kita secara nyata mempunyai banyak agama.
B. KRONOLOGI
Kasus yang menghebohkan pada waktu itu adalah pada tahun 1986 Lydia Kandou menikah dengan aktor Jamal
Mirdad yang jelas-jelas berbeda agama. Lydia Kandou yang
beragama kristen dan Jamal Mirdad yang beragama Islam. Pasangan ini
tetap ingin menikah di Indonesia dan memperjuangkan status mereka di Pengadilan
Negeri. Pada waktu itu banyak tentangan dan kecaman dari seluruh lapisan
masyarakat secara terus menerus.
Langkah awal yang ditempuh Jamal Mirdad & Lydia
Kandou adalah mengajukan permohonan ke Kantor Urusan Agama, namun upaya itu
ditolak oleh KUA. Kemudian mereka ke Kantor Catatan Sipil sebagai jalan tengah,
tetapi itu juga tidak bisa dilalui mereka dengan lancar, upaya Jamal Mirdad
& Lydia Kandou tidak berhenti sampai disitu. Mereka menempuh melalui jalur
pengadilan,dari hal itu Hakim Endang Sri Kawuryan mengizinkan mereka menikah.
Dengan izin itu, pada 30 Juni 1986, Jamal dan Lydia resmi menikah.
Jamal Mirdad & Lydia Kandou terselamatkan bisa menikah di Kantor Catatan
Sipil karena setelah mereka menikah, sejak 12 Agustus 1986, Kantor Catatan
Sipil Jakarta mengeluarkan keputusan, yang pada intinya menolak menikahkan
pasangan berbeda agama, khususnya laki - laki Islam dan wanita beragama lain,
"KANTOR CATATAN SIPIL hanya melaksanakan pencatatan perkawinan yang sudah
sah menurut agama. Yakni, setelah melangsungkan di gereja, vihara, atau pura.
C. ANALISIS
Perkawinan Beda
Agama Menurut Hukum Positif Indonesia
Sebagaimana telah disebutkan diatas bahwa dasar hukum perkawinan di Indonesia yang berlaku sekarang ada beberapa peraturan ,diantaranya adalah:
1. Buku I Kitab Undang-undang
Hukum Perdata
2. UU No. 1/1974 tentang
Perkawinan
3. UU No. 7/1989 tentang
Peradilan Agama
4. PP No. 9/1975 tentang
Peraturan Pelaksana UU No.1/1974
5. Intruksi Presiden No. 1/1991
tentang Kompilasi Hukum Islam di Indonesia
Dalam Kompilasi
Hukum Islam mengkategorikan perkawinan antar pemeluk agama dalam bab larangan
perkawinan. Pada pasal 40 point c dinyatakan bahwa dilarang melangsungkan
perkawinan antara seorang pria dengan seorang wanita yang tidak beragama Islam.
Kemudian dalam pasal 44 dinyatakan bahwa seorang wanita Islam dilarang
melangsungkan perkawinan dengan seorang pria yang tidak beragama Islam. KHI
tersebut selaras dengan pendapat Prof. Dr. Hazairin S.H., yang menafsirkan
pasal 2 ayat 1 beserta penjelasanya bahwa bagi orang Islam tidak ada kemungkinan
untuk menikah dengan melanggar hukum agamanya.
Dalam KHI telah
dinyatakan dengan jelas bahwa perkawinan beda agama jelas tidak dapat
dilaksanakan selain kedua calon suami isteri beragama Islam. Sehingga tidak ada
peluang bagi orang-orang yang memeluk agama Islam untuk melaksanakan perkawinan
antar agama.
Kenyataan yang
terjadi dalam sistem hukum Indonesia, perkawinan antar agama dapat terjadi. Hal
ini disebabkan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan memberikan
peluang tersebut terjadi, karena dalam peraturan tersebut dapat memberikan
beberapa penafsiran bila terjadi perkawinan antar agama.
Berdasarkan UU No. 1/1974 pasal
66, maka semua peraturan yang mengatur tentang perkawinan sejauh telah diatur
dalam UU No. 1/1974, dinyatakan tidak berlaku lagi yaitu perkawinan yang diatur
dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata / BW, Ordonansi Perkawinan Indonesia
Kristen dan peraturan perkawinan campuran. Secara a contrario, dapat diartikan
bahwa beberapa ketentuan tersebut masih berlaku sepanjang tidak diatur dalam UU
No. 1/1974.
Mengenai
perkawinan beda agama yang dilakukan oleh pasangan calon suami isteri dapat
dilihat dalam UU No.1/1974 tentang perkawinan pada pasal 2 ayat 1, bahwa
Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya
dan kepercayaannya. Pada pasal 10 PP No.9/1975 dinyatakan bahwa, perkawinan
baru sah jika dilakukan dihadapan pegawai pencatat dan dihadiri dua orang
saksi. Dan tata cara perkawinan dilakukan menurut hukum masing-masing Agamanya
dan kepercayaannya.
Dalam memahami perkawinan beda
agama menurut undang-undang Perkawinan ada tiga penafsiaran yang berbeda.
Pertama, penafsiran yang berpendapat bahwa perkawinan beda agama merupakan
pelanggaran terhadap UU No. 1/1974 pasal 2 ayat 1 jo pasal 8 f. Pendapat kedua,
bahwa perkawinan antar agama adalah sah dan dapat dilangsungkan, karena telah
tercakup dalam perkawinan campuran, dengan argumentasi pada pasal 57 tentang
perkawinan campuran yang menitikberatkan pada dua orang yang di Indonesia
tunduk pada hukum yang berlainan, yang berarti pasal ini mengatur perkawinan
antara dua orang yang berbeda kewarganegaraan juga mengatur dua orang yang
berbeda agama. Pendapat ketiga bahwa perkawinan antar agama sama sekali tidak
diatur dalam UU No. 1/1974, oleh karena itu berdasarkan pasal 66 UU No. 1/1974
maka persoalan perkawinan beda agama dapat merujuk pada peraturan perkawinan
campuran, karena belum diatur dalam undang-undang perkawinan.
Perbedaan
Pandangan Tentang Perkawinan Beda Agama
Pendapat yang menyatakan perkawinan beda agama merupakan pelanggaran terhadap UU No. 1/1974 pasal 2 ayat 1 jo pasal 8 f, maka instansi baik KUA dan Kantor Catatan Sipil dapat menolak permohonan perkawinan beda agama berdasarkan pada pasal 2 ayat 1 jo pasal 8 f UU No. 1/1974 yang menyatakan bahwa perkawinan adalah sah, jika dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. Dalam penjelasan UU ditegaskan bahwa dengan perumusan pasal 2 ayat 1, maka tidak ada perkawinan di luar hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. Ketentuan pasal tersebut berarti bahwa perkawinan harus dilakukan menurut hukum agamanya, dan ketentuan yang dilarang oleh agama berarti dilarang juga oleh undang-undang perkawinan. Selaras dengan itu, Prof. Dr. Hazairin S.H., menafsirkan pasal 2 ayat 1 beserta penjelasanya bahwa bagi orang Islam tidak ada kemungkinan untuk menikah dengan melanggar hukum agamanya., demikian juga bagi mereka yang beragama Kristen, Hindu, Budha.
Pendapat yang
menyatakan bahwa perkawinan antar agama adalah sah dan dapat dilangsungkan,
karena telah tercakup dalam perkawinan campuran, dengan argumentasi pada pasal
57 tentang perkawinan campuran yang menitikberatkan pada dua orang yang di
Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, yang berarti pasal ini mengatur
perkawinan antara dua orang yang berbeda kewarganegaraan juga mengatur dua
orang yang berbeda agama.
Pada pasal 1
Peraturan Perkawinan campuran menyatakan bahwa perkawinan campuran adalah
perkawinan antara orang-orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang
berlainan. Akibat kurang jelasnya perumusan pasal tersebut, yaitu tunduk pada
hukum yang berlainan, ada beberapa penafsiran dikalangan ahli hukum.
Pendapat
pertama menyatakan bahwa perkawinan campuran hanya terjadi antara orang-orang
yang tunduk pada hukum yang berlainan karena berbeda golongan penduduknya.
Pendapat kedua menyatakan bahwa perkawinan campuran adalah perkawinan antara
orang-orang yang berlainan agamanya. Pendapat ketiga bahwa perkawinan campuran
adalah perkawinan antara orang-orang yang berlainan asal daerahnya.
Pendapat yang
menyatakan bahwa perkawinan antar agama sama sekali tidak diatur dalam UU No.
1/1974, oleh karena itu berdasarkan pasal 66 UU No. 1/1974 maka persoalan
perkawinan beda agama dapat merujuk pada peraturan perkawinan campuran, karena
belum diatur dalam undang-undang perkawinan. Berdasarkan pasal 66 UU No.
1/1974, maka semua peraturan yang mengatur tentang perkawinan sepanjang telah
diatur dalam UU No. 1/1974, dinyatakan tidak berlaku lagi yaitu perkawinan yang
diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata / BW, Ordonansi Perkawinan
Indonesia Kristen dan peraturan perkawinan campuran. Artinya beberapa ketentuan
tersebut masih berlaku sepanjang tidak diatur dalam UU No. 1/1974.
Merujuk pada Undang-undang No. 1/1974 pada pasal 57 yang menyatakan bahwa perkawinan campuran adalah perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia.
Pendapat Hukum Terhadap Perkawinan Beda Agama
Merujuk pada Undang-undang No. 1/1974 pada pasal 57 yang menyatakan bahwa perkawinan campuran adalah perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia.
Berdasarkan
pada pasal 57 UU No. 1/1974, maka perkawinan beda agama di Indonesia bukanlah
merupakan perkawinan campuran. Sehingga semestinya pengajuan permohonan
perkawinan beda agama baik di KUA dan Kantor Catatan Sipil dapat ditolak.
Menurut Purwoto
S. Gandasubrata bahwa perkawinan campuran atau perkawinan beda agama belum
diatur dalam undang-undang secara tuntas dan tegas. Oleh karenanya, ada Kantor
Catatan Sipil yang tidak mau mencatatkan perkawinan beda agama dengan alasan
perkawinan tersebut bertentangan dengan pasal 2 UU No.1/1974. Dan ada pula
Kantor Catatan Sipil yang mau mencatatkan berdasarkan GHR, bahwa perkawinan
dilakukan menurut hukum suami, sehingga isteri mengikuti status hukum suami.
Ketidakjelasan
dan ketidaktegasan Undang-undang Perkawinan tentang perkawinan antar agama
dalam pasal 2 adalah pernyataan “menurut hukum masing-masing agama atau
kepercayaannya”. Artinya jika perkawinan kedua calon suami-isteri adalah sama,
tidak ada kesulitan. Tapi jika hukum agama atau kepercayaannya berbeda, maka
dalam hal adanya perbedaan kedua hukum agama atau kepercayaan itu harus
dipenuhi semua, berarti satu kali menurut hukum agama atau kepercayaan calon
dan satu kali lagi menurut hukum agama atau kepercayaan dari calon yang
lainnya.
Dalam praktek
perkawinan antar agama dapat dilaksanakan dengan menganut salah satu cara baik
dari hukum agama atau kepercayaan si suami atau si calon isteri. Artinya salah
calon yang lain mengikuti atau menundukkan diri kepada salah satu hukum agama
atau kepercayaan pasangannya.
Dalam mengisi
kekosongan hukum karena dalam UU No. 1/1974 tidak secara tegas mengatur tentang
perkawinan antar agama. Mahkamah Agung sudah pernah memberikan putusan tentang
perkawinan antar agama pada tanggal 20 Januari 1989 Nomor: 1400 K/Pdt/1986.
Dalam
pertimbangan MA adalah dalam UU No. 1/1974 tidak memuat suatu ketentuan tentang
perbedaan agama antara calon suami dan calon isteri merupakan larangan
perkawinan. Dan hal ini sejalan dengan UUD 1945 pasal 27 yang menyatakan bahwa
segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum, tercakup di dalamnya
kesamaan hak asasi untuk kawin dengan sesama warga negara sekalipun berlainan
agama dan selama oleh undang-undang tidak ditentukan bahwa perbedaan agama
merupakan larangan untuk perkawinan, maka asas itu adalah sejalan dengan jiwa
pasal 29 UUD 1945 tentang dijaminnya oleh negara kemerdekaan bagi setiap warga
negara untuk memeluk agama masing-masing.
Dengan tidak
diaturnya perkawinan antar agama di UU No. 1/1974 dan dalam GHR dan HOCI tidak
dapat dipakai karena terdapat perbedaan prinsip maupun falsafah yang sangat
lebar antara UU No. 1/1974 dengan kedua ordonansi tersebut. Sehingga dalam
perkawinan antar agama terjadi kekosongan hukum.
Di samping
kekosongan hukum juga dalam kenyataan hidup di Indonesia yang masyarakatnya
bersifat pluralistik, sehingga tidak sedikit terjadi perkawinan antar agama.
Maka MA berpendapat bahwa tidak dapat dibenarkan terjadinya kekosongan hukum
tersebut, sehingga perkawinan antar agama jika dibiarkan dan tidak diberiakan
solusi secara hukum, akan menimbulkan dampak negatif dari segi kehidupan
bermasyarakat maupun beragama berupa penyelundupan-penyelundupan nilai-nilai
sosial maupun agama serta hukum positif, maka MA harus dapat menentukan status
hukumnya.
Mahkamah Agung
dalam memberikan solusi hukum bagi perkawinan antar agama adalah bahwa
perkawinan antar agama dapat diterima permohonannya di Kantor Catatan Sipil
sebagai satu-satunya instansi yang berwenang untuk melangsungkan permohonan
yang kedua calon suami isteri tidak beragama Islam untuk wajib menerima
permohonan perkawinan antar agama.
Dari putusan MA
tentang perkawinan antar agama sangat kontroversi, namun putusan tersebut
merupakan pemecahan hukum untuk mengisi kekosongan hukum karena tidak secara
tegas dinyatakan dalam UU No. 1/1974.
Putusan
Mahkamah Agung Reg. No. 1400 K/Pdt/1986 dapat dijadikan sebagai yurisprudensi,
sehingga dalam menyelesaikan perkara perkawinan antar agama dapat menggunakan
putusan tersebut sebagai salah satu dari sumber-sumber hukum yang berlaku di
Indonesia.
Dalam proses
perkawinan antar agama maka permohonan untuk melangsungkan perkawinan antar
agama dapat diajukan kepada Kantor Catatan Sipil. Dan bagi orang Islam
ditafsirkan atas dirinya sebagai salah satu pasangan tersebut berkehendak untuk
melangsungkan perkawinan tidak secara Islam. Dan dengan demikian pula
ditafsirkan bahwa dengan mengajukan permohonan tersebut pemohon sudah tidak
lagi menghiraukan status agamanya. Sehingga pasal 8 point f UU No. 1/1974 tidak
lagi merupakan halangan untuk dilangsungkan perkawinan, dengan anggapan bahwa
kedua calon suami isteri tidak lagi beragama Islam. Dengan demikian Kantor
Catatan Sipil berkewajiban untuk menerima permohonan tersebut bukan karena
kedua calon pasangan dalam kapasitas sebagai mereka yang berbeda agama, tetapi
dalam status hukum agama atau kepercayaan salah satu calon pasangannya.
Bentuk lain
untuk melakukan perkawinan antar agama dapat dilakukan dengan cara melakukan
perkawinan bagi pasangan yang berbeda agama tersebut di luar negeri. Berdasarkan
pada pasal 56 UU No. 1/1974 yang mengatur perkawinan di luar negeri, dapat
dilakukan oleh sesama warga negara Indonesia, dan perkawinan antar pasangan
yang berbeda agama tersebut adalah sah bila dilakukan menurut hukum yang
berlaku di negara di mana perkawinan itu berlangsung.
Setelah suami
isteri itu kembali di wilayah Indonesia, paling tidak dalam jangka waktu satu
tahun surat bukti perkawinan dapat didaftarkan di kantor pencatatan perkawinan
tempat tinggal mereka. Artinya perkawinan antar agama yang dilakukan oleh
pasangan suami isteri yang berbeda agama tersebut adalah sah karena dapat
diberikan akta perkawinan.
permasalahan yang dapat timbul
apabila dilangsungkannya suatu perkawinan beda agama antara lain:
- Keabsahan perkawinan. Mengenai
sahnya perkawinan yang dilakukan sesuai agama dan kepercayaanya yang
diatur dalam pasal 2 ayat (1) UUP. Hal ini berarti UU Perkawinan
menyerahkan keputusannya sesuai dengan ajaran dari agama masing-masing.
Namun, permasalahannya apakah agama yang dianut oleh masing-masing pihak
tersebut membolehkan untuk dilakukannya perkawinan beda agama. Misalnya,
dalam ajaran islam wanita tidak boleh menikah dengan laki-laki yang tidak
beragama Islam [Al Baqarah (2):221]. Selain itu juga dalam ajaran Kristen
perkawinan beda agama dilarang (I Korintus 6: 14-18).
- Pencatatan perkawinan. Apabila
perkawinan beda agama tersebut dilakukan oleh orang yang beragama Islam
dan Kristen, maka terjadi permasalahan mengenai pencatatan perkawinan.
Apakah di Kantor Urusan Agama atau di Kantor Catatan Sipil oleh karena
ketentuan pencatatan perkawinan untuk agama Islam dan di luar agama Islam
berbeda. Apabila ternyata pencatatan perkawinan beda agama akan dilakukan
di Kantor Catatan Sipil, maka akan dilakukan pemeriksaan terlebih dahulu apakah
perkawinan beda agama yang dilangsungkan tersebut memenuhi ketentuan dalam
pasal 2 UUP tentang syarat sahnya suatu perkawinan. Apabila pegawai
pencatat perkawinan berpendapat bahwa terhadap perkawinan tersebut ada
larangan menurut UUP maka ia dapat menolak untuk melakukan pencatatan
perkawinan [pasal 21 ayat (1) UUP].
- Status anak. Apabila pencatatan
perkawinan pasangan beda agama tersebut ditolak, maka
hal itu juga akan memiliki akibat hukum terhadap status anak yang
terlahir dalam perkawinan. Menurut ketentuan pasal 42 UUP, anak yang
sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang
sah. Oleh karena tidak dilakukannya pencatatan perkawinan, maka menurut
hukum anak tersebut bukanlah anak yang sah dan hanya memiliki hubungan perdata
dengan ibunya atau keluarga ibunya [pasal 2 ayat (2) jo. pasal 43 ayat (1)
UUP].
- Perkawinan beda agama yang dilakukan di luar negeri. Apabila ternyata perkawinan beda agama tersebut dilakukan di luar
negeri, maka dalam kurun waktu satu tahun setelah suami istri itu kembali
ke wilayah Indonesia harus mendaftarkan surat bukti perkawinan mereka ke
Kantor Pencatatan Perkawinan tempat tinggal mereka [pasal 56 ayat (2)
UUP]. Permasalahan yang timbul akan sama seperti halnya yang dijelaskan
dalam poin 2. Meskipun tidak sah menurut hukum Indonesia, bisa
terjadi Catatan Sipil tetap menerima pendaftaran perkawinan tersebut.
Pencatatan di sini bukan dalam konteks sah tidaknya perkawinan, melainkan
sekedar pelaporan administratif
D. Kesimpulan
Dari uraian tersebut diatas,
dengan ini penulis kemukakan beberapa hal sebagai kesimpulan, sebagai berikut :
1.
Undang-Undang
No.1/1974 tentang Ketentuan Pokok Perkawinan, tidak mengatur tentang perkawinan
beda agama. Oleh karena itu perkawinan antar agama tidak dapat dilakukan berdasarkan
pada pasal 2 ayat 1 UU No.1/1974, bahwa perkawinan adalah sah, apabila
dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya. Dan pada
pasal 10 PP No.9/1975 dinyatakan bahwa, perkawinan baru sah jika dilakukan
dihadapan pegawai pencatat dan dihadiri dua orang saksi. Dan tata cara
perkawinan dilakukan menurut hukum masing-masing Agamanya dan kepercayaannya.
2.
Dalam mengisi
kekosongan hukum karena dalam UU No. 1/1974 tidak secara tegas mengatur tentang
perkawinan antar agama, Mahkamah Agung dalam yurisprudensinya tanggal 20
Januari 1989 Nomor: 1400 K/Pdt/1986, memberikan solusi hukum bagi perkawinan
antar agama adalah bahwa perkawinan antar agama dapat diterima permohonannya di
Kantor Catatan Sipil sebagai satu-satunya instansi yang berwenang untuk
melangsungkan permohonan yang kedua calon suami isteri tidak beragama Islam
untuk wajib menerima permohonan perkawinan antar agama.
3.
Dalam proses
perkawinan antar agama maka permohonan untuk melangsungkan perkawinan antar
agama dapat diajukan kepada Kantor Catatan Sipil. Dan bagi orang Islam
ditafsirkan atas dirinya sebagai salah satu pasangan tersebut berkehendak untuk
melangsungkan perkawinan tidak secara Islam. Dan dengan demikian pula
ditafsirkan bahwa dengan mengajukan permohonan tersebut pemohon sudah tidak
lagi menghiraukan status agamanya. Sehingga pasal 8 point f UU No. 1/1974 tidak
lagi merupakan halangan untuk dilangsungkan perkawian, dengan anggapan bahwa
kedua calon suami isteri tidak lagi beragama Islam. Dengan demikian Kantor
Catatan Sipil berkewajiban untuk menerima permohonan tersebut bukan karena
kedua calon pasangan dalam kapasitas sebagai mereka yang berbeda agama, tetapi
dalam status hukum agama atau kepercayaan salah satu calon pasangannya.
4.
Perkawinan
antar agama dapat juga dilakukan oleh sesama warga negara Indonesia yang
berbeda agama dengan cara melakukan perkawinan tersebut di luar negeri.
E.
DAFTAR PUSTAKA
BUKU :
1.
Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam, Cet. 5, Jakarta: Akamedika Pressindo,. 2004.
2. Undang-Undang
No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
3. Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata
INTERNET :