PERJANJIAN BAGI HASIL
TUGAS HUKUM AGRARIA
NAMA : FAIZAL IMAM DHARMAWAN
NIM : E1A013016
KELAS : B
BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Masalah
pertanahan merupakan masalah yang kompleks. Tidak berjalannya program landreform
yang mengatur tentang penetapan luas pemilikan tanah mengakibatkan
terjadinya penumpukan luas pemilikan lahan pada satu pihak tertentu, akibatnya
ada masyarakat atau pihak lain yang sama sekali tidak memiliki tanah.
Meningkatnya kebutuhan akan tanah yang tidak diimbangi oleh penyediaan lahan
pertanian yang memadai telah menjadikan sewa tanah pertanian merupakan salah
satu alternatif oleh masyarakat untuk menguasai suatu lahan olahan. Hal ini
terjadi karena disatu sisi ada masyarakat yang menguasasi tanah dalam jumlah
tertentu namun tidak dapat mengolah atau mengusahakannya sendiri secara aktif
sehingga tanah menjadi tak produktif, maka disewakanlah tanah itu kepada pihak
lain.
Bumi, air dan
kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dipergunakan untuk sebesar-besar
kemakmuran rakyat merupakan dasar filosofis terbentuknya Undang-undang Pokok
Agraria (UUPA) No.5/1960. UUPA berdasar pada hukum adat, sepanjang tidak
bertentangan dengan kepentingan nasional dan negara (Pasal 3 dan 5 UUPA). Tanah
merupakan aset negara yang sangat penting.
Sejumlah hak-hak yang berhubungan dengan tanah telah diatur dalam UUPA.
Hak-hak atas tanah memungkinkan terjadinya
pemerasan orang atau golongan satu oleh orang atau golongan lain tidak boleh
ada dalam Hukum Tanah Nasional. Bahwa pada asasnya tanah pertanian harus
dikerjakan atau diusahakan sendiri secara aktif oleh yang mempunyai tanah
(Pasal 10 UUPA). Dalam penjelasan Pasal 10 dijelaskan bahwa mengusahakan sendiri secara aktif tidak berarti
harus mengerjakannya sendiri namun bisa pula dengan menyewakannya kepada
orang lain.
Umumnya praktek sewa menyewa tanah
pertanian pelaksanaannya didasarkan pada hukum adat masing-masing. Hubungan
antara penyewa dan pemberi sewa lebih banyak didasarkan pada adanya rasa saling
percaya dan kejujuran antara keduanya, jadi tidak melalui suatu proses formal
untuk terjadinya suatu perjanjian sewa menyewa tanah pertanian. Sifat sementara
yang diberikan oleh UUPA pada hak sewa tanah pertanian dikaitkan pada prinsip
tanah untuk penggarap (petani), sebab penyewaan tanah pertanian ini mengandung
unsur pemerasan. Oleh karena itu pada saatnya hak sewa tanah pertanian akan
dihapuskan melalui suatu
undang-undang, akan tetapi
undang-undang yang dimaksud hingga 42 tahun usia
UUPA belum juga ada, sehingga meskipun bersifat sementara hak sewa tanah
pertanian ini tetap diakui eksistensinya.
BAB II
A. Rumusan masalah
1. Apa yang dimaksud perjanjian bagi
hasil ?
2. Apa penjelasan dan ketentuan perjanjian
bagi hasil menurut Undang-Undang Nomor 2 Tahun
1960 ?
1960 ?
3. Apa tujuan dibuatnya aturan mengenai
Perjanjian Bagi Hasil ?
BAB
III
PEMBAHASAN
A. Definisi Perjanjian Bagi hasil
Perjanjian bagi hasil secara umum dapat diartikan sebagai suatu perjanjian
di mana seseorang pemilik tanah memperkenankan atau mengizinkan orang lain
dalam hal ini penggarap untuk menggarap tanahnya dengan membuat suatu
perjanjian, bahwa pada waktu panen hasil dari tanaman tersebut akan dibagi
sesuai perjanjian yang telah dibuat.
Dalam membicarakan masalah ini dasarnya ialah Pasal 1 huruf c Undang-Undang
No. 2 Tahun 1960 yang menyatakan secara tegas pengertian perjanjian bagi hasil,
sebagai berikut : “Perjanjian bagi hasil adalah perjanjian dengan nama apapun
juga yang diadakan antara pemilik pada suatu pihak yang dalam Undang-Undang ini
disebut penggarap, berdasarkan perjanjian mana penggarap diperkenangkan oleh
pemilik tersebut untuk menyelenggarakan usha pertanian di atas tanah pemilik,
dengan pembagiannya antara kedua belah pihak”.
Pengertian di atas ditempatkan sejajar dengan beberapa istilah yang lain,
ini termasuk semuanya dalam suatu perangkat pengertian yang dalam bab ini
diberi titel arti beberapa istilah. Istilah yang sejajar ditulis sebagai
berikut :
a.
Tanah, ialah tanah yang biasanya
dipergunakan untuk penanaman bahan makanan.
b.
Pemilik, adalah orang atau badan
Hukum yang berdasarkan sesuatu hak menguasai tanah.
c.
Perjanjian bagi hasil.
d.
Hasil tanah, ialah hasil usaha
pertanian yang diselenggarakan oleh penggarap termasuk dalam huruf c pasal ini
setelah dikurangi biaya bibit, pupuk, ternak serta biaya untuk menanam dan
biaya panen.
e.
Petani, adalah orang baik yang
mempunyai maupun yang tidak mempunyai tanah yang mata pencaharian pokoknya
adalah mengusahakan tanah untuk pertanian.
Dari pengertian di atas terdapat suatu penembangan dari
pengertian-pengertian bagi hasil yang diuraikan sebelumnya, yang mana
ditetapkannya badan Hukum dapat menjadi pihak dalam suatu perjanjian bagi
hasil.
Dapat dilihat bahwa Undang-Undang No. 2 Tahun 1960 dalam Pasal 1 tersebut
di atas telah menyatakan bahwa perjanjian dengan nama apapun juga antara
pemilik dan penggarap disebut perjanjian bagi hasil. Menyebut dengan nama
apapun juga menandakan bahwa sesungguhnya sejak awal pembuat Undang-Undang
telah menyadari bahwa perjanjian bagi hasil mempunyai nama yang bermacam-macam
ditiap-tiap daerah. Ini sekaligus menunjukkan bahwa keberadaan Hukum adat
khususnya yang menyangkut bagi hasil terhadap tanah Akkinanreang dihormati oleh
pemerintah setempat.
Dengan diundangkannya Undang-Undang No.2 Tahun 1960 tentang perjanjian bagi
hasil, secara otomatis merupakan suatu pengakuan pemerintah terhadap adanya
pelaksanaan perjanjian bagi hasil yang berlaku dalam masyarakat Hukum adat.
Disamping itu, latar belakang dikeluarkannya Undang-Undang tersebut
disebabkan oleh hal-hal sebagai berikut :
1.
Masih adanya pemilik tanah yang tak
sempat atau yang tak dapat mengerjakan sendiri tanahnya, sehingga
memperkenangkan orang lain untuk mengerjakan. Pemilik tanah pertanian secara
besar-besaran oleh orang-orang yang tergolong berekonomi kuat terjadi sebelum
dan sesudah dilaksanakannya Undang-Undang Pokok Agraria. Sebaliknya yang
berekonomi lemah hanya memiliki tanah pertanian yang sempit, bahkan biasanya
tidak memiliki tanah sebidangpun. Golongan ini selain jumlahnya banyak, juga
hidup dengan berusaha menjadi buruh tani, menggarap tanah pertanian sambil
terikat oleh berbagai persyaratan yang sangat memberatkan. Setelah berlakunya
Undang-Undang Pokok Agraria dan Landreform, maka pemilikan tanah secara luas
mulai dibatasi dengan ketentuan batas maksimum dan batas minimum. Tujuannya
adalah untuk mencegah berlarut-larutnya ketimpangan-ketimpangan seperti yang
telah dikemukakan. Selain itu para pemilik tanah diusahakan dapat mengelolah
dan mengerjakan sendiri tanahnya sehingga memperkenangkan orang lain untuk
mengerjakan sistem perjanjian bagi hasil.
2.
Adanya kebiasaan dalam
melaksanakannya perjanjian bagi hasil secara lisan tanpa disaksikan dan
diketahui serta disahkan oleh pihak-pihak yang berwenang. Hal demikian dapat
mengakibatkan ketidakpastian dan keraguan dalam Hukum sehingga memungkinkan
timbulnya perselisihan antara para pihak.
3.
Untuk mencegah terjadinya hal
seperti dikemukakan terutama cara-cara yang tidak menguntungkan baik dipihak
pemilik tanah maupun dikalangan para penggarap, untuk itu pemerintah
berkewajiban mengatur sedemikian rupa sistem perjanjian bagi hasil dalam suatu
Undang-Undang yang berlaku diseluruh wilayah Indonesaia. Sebagai
pelaksanaannya, diundangkanlah Undang-Undang No.2 Tahun 1960 tentang perjanjian
bagi hasil.
B. Penjelasan dan Ketentuan
Perjanjian Bagi Hasil Menurut UU No 2
Tahun 1960
Pada Pasal 3 ayat (1) dan (2) Undang-Undang No.2 Tahun 1960
dijelaskan sebagai berikut :
1.
Semua perjanjian bagi hasil harus
ada pemilik dan penggarap sendiri dihadapan kepala desa atau kepala daerah yang
setingkat dengan itu tempat letaknya tanah yang bersangkutan. Selanjutnya
Undang-Undang ini disebut : Kepala desa, dengan dipersaksikan oleh dua
orang, masing-masing dari pihak pemilik dan penggarap.
2.
Perjanjian bagi hasil dalam ayat 1
di atas memerlukan pengesahan dari Camat yang bersangkutan atau dari pejabat
lain yang setingkat dengan itu. Selanjutnya dalam Undang-Undang itu disebut
Camat.
3.
Pada tiap musyawarah desa, maka
Kepala Desa mengumumkan semua perjanjian bagi hasil yang diadakan sesudah
musyawarah yang terakhir.
4.
Menteri Muda Agraria menetapkan
peraturan-peraturan yang diperlukan untuk mengeluarkan ketentuan-ketentuan
dalam ayat (1) dan (2) di atas.
Demikian kita kutip secara lengkap ketentuan dalam Undang-Undang No.2 Tahun
1960 Pasal 3 ayat (1,2,3 dan 4) secara lebih lengkap agar kiranya menjadi jelas
bahwa perjanjian bagi hasil telah diatur pelaksanaannya, perangkat dan proses
bagaimana melaksanakannya. Walaupun terdapat kesenjangan antara ketentuan yang
diundangkan dengan realita dimasyarakat, namun ketentuan tersebut tetaplah
senantiasa sebagai bahan perbandingan bila mana diingat bahwa Undang-Undang
No.2 Tahun 1960 tersebut adalah suatu ketentuan satu-satunya yang mengatur
masalah perjanjian bagi hasil.
Dari Pasal 3 Undang-Undang No.2 Tahun 1960 tersebut di atas diketahui bahwa
suatu perjanjian bagi hasil atas sebidang tanah yang diperjanjikan antara
seorang atau lebih hanya dapat dianggap sah bilamana dilakukan secara tertentu
dengan beberapa syarat. syarat-syarat tersebut adalah :
1.
Perjanjian harus dibuat oleh para
pihak itu sendiri.
2.
Harus dibuat tertulis dihadapan
Kepala Desa.
3.
Harus disaksikan 2 orang,
masing-masing dari kedua pihak tersebut.
4.
Harus disaksikan olek Camat
setempat.
Berdasarkan keempat syarat yang disebutkan di atas, maka suatu perjanjian bagi
hasil dapat dianggap sah bilamana telah memenuhi atau menjalankan ketentuan
yang sudah ditetapkan. Oleh karena itu dapat ditarik bahwa kekurangan dari
salah satu syarat yang diakibatkan oleh karena tidak dijalankan dilaksanakannya
syarat tersebut, dapat memberi konsekuensi tidak sah atau tidak diakuinya suatu
perjanjian bagi hasil.
Penetapan keempat syarat tersebut, menurut pemikiran penulis adalah wajar
dan memang suatu keharusan demi mencapai efektifitas ketentuan
perundang-undangan yang bertumpuh pada keadilan sepenuh-penuhnya untuk semua
pihak. Ketentuan Pasal 3 Undang-Undang No.2 Tahun 1960 ini juga amat logis
sebagai suatu penetapan penting bagi terselenggaranya perjanjian bagi hasil dan
untuk suatu kepastian Hukum bagi semua kalangan masyarakat tani pada semua
tingkatan sosial dan lapisan kehidupan.
Khususnya bagi kalangan masyarakat pemilik tanah dan penggarap maka perlu
adanya ketentuan yang menekankan unsur keadilan dan kepastian Hukum sebagaimana
yang telah digariskan dalam Pasal 3 seperti dikemukakan di atas agar kiranya
bertujuan untuk menjamin terciptanya kehidupan yang berlandaskan pada adanya
pemerataan penikmatan hasil tanah pertanian diantara semua masyarakat tani. Hal
ini pada gilirannya akan menciptakan suatu kehidupan yang lebih sejahtera.
Suatu latar belakang pemikiran lain, agaknya menjadi bahan pertimbangan
dengan ditetapkannya ketentuan bahwa setiap perjanjian bagi hasil mesti
dituangkan secara tertulis dan lebih menunjukkan adanya sesuatu yang
benar-benar nyata. Dengan demikian dari segi realitanya sebagai sebuah
perbuatan Hukum yang dapat dibuktikan dan memperkuat daya berlakunya.
Oleh karena itu dapat dikaitkan bahwa dengan suatu bentuk yang tertulis,
maka perjanjian bagi hasil dapat menghindarkan terjadinya keragu-raguan. Hal ini
kiranya amat penting mengingat bahwa kepercayaan hanya dapat diperoleh bilamana
ada suatu yang konkrit dan dijadikan bukti tentang terjadinya suatu perbuatan
Hukum.
Dengan adanya kepercayaan yang ditumbuhkan oleh adanya bentuk tertulis,
maka kemungkinan munculnya perselisihan akibat keragu-raguan dapat dicegah
sedini mungkin. Bentuk tertulis juga akan lebih efektif bagi kedua pihak,
karena dengan cara demikian telah ditegaskan dalam bentuk dan kelihatan dengan
jelas adanya kesepakatan tentang hak dan kewajiban diantara kedua belah pihak
yang mengadakan suatu perjanjian bagi hasil. Demikian pula akan menjadi suatu
penegasan kedua pihak yang menyangkut aspek-aspek dari perjanjian lainnya yang
menjadi kesepakatan.
C. Tujuan Dibentuknya Aturan Mengenai Perjanjian Bagi Hasil
Tujuan dibuatnya Undang-Undang No.2 Tahun 1960, dalam penjelasannya
dijelaskan sebagai berikut :“Dalam usaha melindungi golongan yang ekonominya
lemah terhadap praktek-praktek yang kuat sebagaimana halnya dengan hubungan
perjanjian bagi hasil yang diuraikan di atas, maka dalam bidang Agraria
diundangkanlah Undang-Undang ini, yang bertujuan mengatur perjanjian bagi hasil
tersebut dengan maksud :
a.
Agar pembagian hasil tanah antara
para pihak didasarkan atas dasar adil.
b.
Dengan menegaskan hak-hak dan
kewajiban-kewajiban dari pemilik dan penggarap, agar terjamin pula kedudukan
Hukum yang layak bagi penggarap, yang biasanya dalam suatu perjanjian bagi
hasil itu berada dalam keduddukan yang tidak kuat, yaitu karena umumnya tanah
yang tersedia tidak banyak, sedangkan jumlah orang yang ingin menjadi penggarapnya
adalah sangat besar.
c.
Dengan terselenggaranya apa yang
tersebut pada a dan b di atas, maka akan bertambah kegembiraan bekerja pada
petani. Hal mana akan berpengaruh baik pula pada caranya memelihara kesuburan,
dan mengusahakan tanahnya. Hal itu tentu saja akan berpengaruh baik pula pada
produksi tanah yang bersangkutan, yang berarti suatu langkah maju dalam
melaksanakan program untuk melengkapi sandang pangan rakyat”.
Dengan diundangkannya Undang-Undang No.2 Tahun 1960 maka pelaksanaan
perjanjian bagi hasil antara para pihak, selain senantiasa harus didasarkan
pada pembagian yang adil dilain pihak hak dan kewajiban kedua belah pihak juga
telah diperjelas dengan Undang-Undang tersebut utamanya yang menyangkut
terjaminnya kedudukan Hukum yang layak khususnya bagi para penggarap. Hal demikian
tidak saja berpengaruh terhadap peningkatan hasil produksi akan tetapi
pengaruhnya menjangkau jauh sampai kepada terpenuhinya kebutuhan rakyat
terhadap sandang pangan.
BAB IV
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
1.
Perjanjian bagi hasil secara umum
dapat diartikan sebagai suatu perjanjian di mana seseorang pemilik tanah
memperkenankan atau mengizinkan orang lain dalam hal ini penggarap untuk
menggarap tanahnya dengan membuat suatu perjanjian, bahwa pada waktu panen
hasil dari tanaman tersebut akan dibagi sesuai perjanjian yang telah dibuat.
2.
Dengan adanya kepercayaan yang
ditumbuhkan oleh adanya bentuk tertulis, maka kemungkinan munculnya
perselisihan akibat keragu-raguan dapat dicegah sedini mungkin. Bentuk tertulis
juga akan lebih efektif bagi kedua pihak, karena dengan cara demikian telah
ditegaskan dalam bentuk dan kelihatan dengan jelas adanya kesepakatan tentang
hak dan kewajiban diantara kedua belah pihak yang mengadakan suatu perjanjian
bagi hasil.
3.
Tujuan mengatur perjanjian bagi
hasil tersebut dengan maksud Agar pembagian hasil tanah antara para pihak
didasarkan atas dasar adil. Dengan menegaskan hak-hak dan kewajiban-kewajiban
dari pemilik dan penggarap, agar terjamin pula kedudukan Hukum yang layak bagi
penggarap, yang biasanya dalam suatu perjanjian bagi hasil itu berada dalam
keduddukan yang tidak kuat, yaitu karena umumnya tanah yang tersedia tidak
banyak, sedangkan jumlah orang yang ingin menjadi penggarapnya adalah sangat
besar.
B. SARAN
Menurut
penulis, pembuat Undang-Undang ini yaitu DPR atau lembaga legislatif perlu
merevisi ulang mengenai hal ini dikarenakan sudah banyak berkembang dibandikan
dengan zaman dahulu. kehidupan sekarang menuntut adanya banyak perubahan yang
signifikan.
DAFTAR PUSTAKA
https://www.dpr.go.id/uu/uu1960/UU_1960_2.pdf
http://karyailmiah.tarumanagara.ac.id/index.php/FH/article/view/5266
No comments:
Post a Comment