Saturday 13 December 2014

MAKALAH PERJANJIAN BAGI HASIL


PERJANJIAN BAGI HASIL
TUGAS HUKUM AGRARIA


                                   


NAMA  :  FAIZAL IMAM DHARMAWAN
NIM      :  E1A013016
KELAS  :  B           


BAB I
PENDAHULUAN

Latar Belakang
Masalah pertanahan merupakan masalah yang kompleks. Tidak berjalannya program landreform yang mengatur tentang penetapan luas pemilikan tanah mengakibatkan terjadinya penumpukan luas pemilikan lahan pada satu pihak tertentu, akibatnya ada masyarakat atau pihak lain yang sama sekali tidak memiliki tanah. Meningkatnya kebutuhan akan tanah yang tidak diimbangi oleh penyediaan lahan pertanian yang memadai telah menjadikan sewa tanah pertanian merupakan salah satu alternatif oleh masyarakat untuk menguasai suatu lahan olahan. Hal ini terjadi karena disatu sisi ada masyarakat yang menguasasi tanah dalam jumlah tertentu namun tidak dapat mengolah atau mengusahakannya sendiri secara aktif sehingga tanah menjadi tak produktif, maka disewakanlah tanah itu kepada pihak lain.
Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat merupakan dasar filosofis terbentuknya Undang-undang Pokok Agraria (UUPA) No.5/1960. UUPA berdasar pada hukum adat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan negara (Pasal 3 dan 5 UUPA). Tanah merupakan aset negara yang sangat penting. Sejumlah hak-hak yang berhubungan dengan tanah telah diatur dalam UUPA.
Hak-hak atas tanah memungkinkan terjadinya pemerasan orang atau golongan satu oleh orang atau golongan lain tidak boleh ada dalam Hukum Tanah Nasional. Bahwa pada asasnya tanah pertanian harus dikerjakan atau diusahakan sendiri secara aktif oleh yang mempunyai tanah (Pasal 10 UUPA). Dalam penjelasan Pasal 10 dijelaskan bahwa mengusahakan sendiri secara aktif tidak berarti harus mengerjakannya sendiri namun bisa pula dengan menyewakannya kepada orang lain.

Umumnya praktek sewa menyewa tanah pertanian pelaksanaannya didasarkan pada hukum adat masing-masing. Hubungan antara penyewa dan pemberi sewa lebih banyak didasarkan pada adanya rasa saling percaya dan kejujuran antara keduanya, jadi tidak melalui suatu proses formal untuk terjadinya suatu perjanjian sewa menyewa tanah pertanian. Sifat sementara yang diberikan oleh UUPA pada hak sewa tanah pertanian dikaitkan pada prinsip tanah untuk penggarap (petani), sebab penyewaan tanah pertanian ini mengandung unsur pemerasan. Oleh karena itu pada saatnya hak sewa tanah pertanian akan dihapuskan melalui   suatu   undang-undang,   akan   tetapi   undang-undang   yang   dimaksud hingga 42 tahun usia UUPA belum juga ada, sehingga meskipun bersifat sementara hak sewa tanah pertanian ini tetap diakui eksistensinya.





BAB II

A.  Rumusan masalah

1.      Apa yang dimaksud perjanjian bagi hasil  ?
2.      Apa penjelasan dan ketentuan perjanjian bagi hasil menurut Undang-Undang Nomor 2 Tahun
       1960  ?
3.      Apa tujuan dibuatnya aturan mengenai Perjanjian Bagi Hasil ?



BAB III
PEMBAHASAN

A.  Definisi Perjanjian Bagi hasil

Perjanjian bagi hasil secara umum dapat diartikan sebagai suatu perjanjian di mana seseorang pemilik tanah memperkenankan atau mengizinkan orang lain dalam hal ini penggarap untuk menggarap tanahnya dengan membuat suatu perjanjian, bahwa pada waktu panen hasil dari tanaman tersebut akan dibagi sesuai perjanjian yang telah dibuat.
Dalam membicarakan masalah ini dasarnya ialah Pasal 1 huruf c Undang-Undang No. 2 Tahun 1960 yang menyatakan secara tegas pengertian perjanjian bagi hasil, sebagai berikut : “Perjanjian bagi hasil adalah perjanjian dengan nama apapun juga yang diadakan antara pemilik pada suatu pihak yang dalam Undang-Undang ini disebut penggarap, berdasarkan perjanjian mana penggarap diperkenangkan oleh pemilik tersebut untuk menyelenggarakan usha pertanian di atas tanah pemilik, dengan pembagiannya antara kedua belah pihak”.
Pengertian di atas ditempatkan sejajar dengan beberapa istilah yang lain, ini termasuk semuanya dalam suatu perangkat pengertian yang dalam bab ini diberi titel arti beberapa istilah. Istilah yang sejajar ditulis sebagai berikut :
a.    Tanah, ialah tanah yang biasanya dipergunakan untuk penanaman bahan makanan.
b.    Pemilik, adalah orang atau badan Hukum yang berdasarkan sesuatu hak menguasai tanah.
c.    Perjanjian bagi hasil.
d.   Hasil tanah, ialah hasil usaha pertanian yang diselenggarakan oleh penggarap termasuk dalam huruf c pasal ini setelah dikurangi biaya bibit, pupuk, ternak serta biaya untuk menanam dan biaya panen.
e.    Petani, adalah orang baik yang mempunyai maupun yang tidak mempunyai tanah yang mata pencaharian pokoknya adalah mengusahakan tanah untuk pertanian.
Dari pengertian di atas terdapat suatu penembangan dari pengertian-pengertian bagi hasil yang diuraikan sebelumnya, yang mana ditetapkannya badan Hukum dapat menjadi pihak dalam suatu perjanjian bagi hasil.
Dapat dilihat bahwa Undang-Undang No. 2 Tahun 1960 dalam Pasal 1 tersebut di atas telah menyatakan bahwa perjanjian dengan nama apapun juga antara pemilik dan penggarap disebut perjanjian bagi hasil. Menyebut dengan nama apapun juga menandakan bahwa sesungguhnya sejak awal pembuat Undang-Undang telah menyadari bahwa perjanjian bagi hasil mempunyai nama yang bermacam-macam ditiap-tiap daerah. Ini sekaligus menunjukkan bahwa keberadaan Hukum adat khususnya yang menyangkut bagi hasil terhadap tanah Akkinanreang dihormati oleh pemerintah setempat.
Dengan diundangkannya Undang-Undang No.2 Tahun 1960 tentang perjanjian bagi hasil, secara otomatis merupakan suatu pengakuan pemerintah terhadap adanya pelaksanaan perjanjian bagi hasil yang berlaku dalam masyarakat Hukum adat.
Disamping itu, latar belakang dikeluarkannya Undang-Undang tersebut disebabkan oleh hal-hal sebagai berikut :
1.        Masih adanya pemilik tanah yang tak sempat atau yang tak dapat mengerjakan sendiri tanahnya, sehingga memperkenangkan orang lain untuk mengerjakan. Pemilik tanah pertanian secara besar-besaran oleh orang-orang yang tergolong berekonomi kuat terjadi sebelum dan sesudah dilaksanakannya Undang-Undang Pokok Agraria. Sebaliknya yang berekonomi lemah hanya memiliki tanah pertanian yang sempit, bahkan biasanya tidak memiliki tanah sebidangpun. Golongan ini selain jumlahnya banyak, juga hidup dengan berusaha menjadi buruh tani, menggarap tanah pertanian sambil terikat oleh berbagai persyaratan yang sangat memberatkan. Setelah berlakunya Undang-Undang Pokok Agraria dan Landreform, maka pemilikan tanah secara luas mulai dibatasi dengan ketentuan batas maksimum dan batas minimum. Tujuannya adalah untuk mencegah berlarut-larutnya ketimpangan-ketimpangan seperti yang telah dikemukakan. Selain itu para pemilik tanah diusahakan dapat mengelolah dan mengerjakan sendiri tanahnya sehingga memperkenangkan orang lain untuk mengerjakan sistem perjanjian bagi hasil.
2.        Adanya kebiasaan dalam melaksanakannya perjanjian bagi hasil secara lisan tanpa disaksikan dan diketahui serta disahkan oleh pihak-pihak yang berwenang. Hal demikian dapat mengakibatkan ketidakpastian dan keraguan dalam Hukum sehingga memungkinkan timbulnya perselisihan antara para pihak.
3.        Untuk mencegah terjadinya hal seperti dikemukakan terutama cara-cara yang tidak menguntungkan baik dipihak pemilik tanah maupun dikalangan para penggarap, untuk itu pemerintah berkewajiban mengatur sedemikian rupa sistem perjanjian bagi hasil dalam suatu Undang-Undang yang berlaku diseluruh wilayah Indonesaia. Sebagai pelaksanaannya, diundangkanlah Undang-Undang No.2 Tahun 1960 tentang perjanjian bagi hasil.

B.   Penjelasan dan Ketentuan Perjanjian Bagi Hasil Menurut UU No 2     Tahun 1960
Pada Pasal 3 ayat (1) dan (2) Undang-Undang No.2 Tahun 1960 dijelaskan sebagai berikut :
1.    Semua perjanjian bagi hasil harus ada pemilik dan penggarap sendiri dihadapan kepala desa atau kepala daerah yang setingkat dengan itu tempat letaknya tanah yang bersangkutan. Selanjutnya Undang-Undang ini disebut  : Kepala desa, dengan dipersaksikan oleh dua orang, masing-masing dari pihak pemilik dan penggarap.
2.    Perjanjian bagi hasil dalam ayat 1 di atas memerlukan pengesahan dari Camat yang bersangkutan atau dari pejabat lain yang setingkat dengan itu. Selanjutnya dalam Undang-Undang itu disebut Camat.
3.    Pada tiap musyawarah desa, maka Kepala Desa mengumumkan semua perjanjian bagi hasil yang diadakan sesudah musyawarah yang terakhir.
4.    Menteri Muda Agraria menetapkan peraturan-peraturan yang diperlukan untuk mengeluarkan ketentuan-ketentuan dalam ayat (1) dan (2) di atas.
Demikian kita kutip secara lengkap ketentuan dalam Undang-Undang No.2 Tahun 1960 Pasal 3 ayat (1,2,3 dan 4) secara lebih lengkap agar kiranya menjadi jelas bahwa perjanjian bagi hasil telah diatur pelaksanaannya, perangkat dan proses bagaimana melaksanakannya. Walaupun terdapat kesenjangan antara ketentuan yang diundangkan dengan realita dimasyarakat, namun ketentuan tersebut tetaplah senantiasa sebagai bahan perbandingan bila mana diingat bahwa Undang-Undang No.2 Tahun 1960 tersebut adalah suatu ketentuan satu-satunya yang mengatur masalah perjanjian bagi hasil.
Dari Pasal 3 Undang-Undang No.2 Tahun 1960 tersebut di atas diketahui bahwa suatu perjanjian bagi hasil atas sebidang tanah yang diperjanjikan antara seorang atau lebih hanya dapat dianggap sah bilamana dilakukan secara tertentu dengan beberapa syarat. syarat-syarat tersebut adalah :
1.        Perjanjian harus dibuat oleh para pihak itu sendiri.
2.        Harus dibuat tertulis dihadapan Kepala Desa.
3.        Harus disaksikan 2 orang, masing-masing dari kedua pihak tersebut.
4.        Harus disaksikan olek Camat setempat.
Berdasarkan keempat syarat yang disebutkan di atas, maka suatu perjanjian bagi hasil dapat dianggap sah bilamana telah memenuhi atau menjalankan ketentuan yang sudah ditetapkan. Oleh karena itu dapat ditarik bahwa kekurangan dari salah satu syarat yang diakibatkan oleh karena tidak dijalankan dilaksanakannya syarat tersebut, dapat memberi konsekuensi tidak sah atau tidak diakuinya suatu perjanjian bagi hasil.
Penetapan keempat syarat tersebut, menurut pemikiran penulis adalah wajar dan memang suatu keharusan demi mencapai efektifitas ketentuan perundang-undangan yang bertumpuh pada keadilan sepenuh-penuhnya untuk semua pihak. Ketentuan Pasal 3 Undang-Undang No.2 Tahun 1960 ini juga amat logis sebagai suatu penetapan penting bagi terselenggaranya perjanjian bagi hasil dan untuk suatu kepastian Hukum bagi semua kalangan masyarakat tani pada semua tingkatan sosial dan lapisan kehidupan.
Khususnya bagi kalangan masyarakat pemilik tanah dan penggarap maka perlu adanya ketentuan yang menekankan unsur keadilan dan kepastian Hukum sebagaimana yang telah digariskan dalam Pasal 3 seperti dikemukakan di atas agar kiranya bertujuan untuk menjamin terciptanya kehidupan yang berlandaskan pada adanya pemerataan penikmatan hasil tanah pertanian diantara semua masyarakat tani. Hal ini pada gilirannya akan menciptakan suatu kehidupan yang lebih sejahtera.
Suatu latar belakang pemikiran lain, agaknya menjadi bahan pertimbangan dengan ditetapkannya ketentuan bahwa setiap perjanjian bagi hasil mesti dituangkan secara tertulis dan lebih menunjukkan adanya sesuatu yang benar-benar nyata. Dengan demikian dari segi realitanya sebagai sebuah perbuatan Hukum yang dapat dibuktikan dan memperkuat daya berlakunya.
Oleh karena itu dapat dikaitkan bahwa dengan suatu bentuk yang tertulis, maka perjanjian bagi hasil dapat menghindarkan terjadinya keragu-raguan. Hal ini kiranya amat penting mengingat bahwa kepercayaan hanya dapat diperoleh bilamana ada suatu yang konkrit dan dijadikan bukti tentang terjadinya suatu perbuatan Hukum.
Dengan adanya kepercayaan yang ditumbuhkan oleh adanya bentuk tertulis, maka kemungkinan munculnya perselisihan akibat keragu-raguan dapat dicegah sedini mungkin. Bentuk tertulis juga akan lebih efektif bagi kedua pihak, karena dengan cara demikian telah ditegaskan dalam bentuk dan kelihatan dengan jelas adanya kesepakatan tentang hak dan kewajiban diantara kedua belah pihak yang mengadakan suatu perjanjian bagi hasil. Demikian pula akan menjadi suatu penegasan kedua pihak yang menyangkut aspek-aspek dari perjanjian lainnya yang menjadi kesepakatan.

C.  Tujuan Dibentuknya Aturan Mengenai Perjanjian Bagi Hasil

Tujuan dibuatnya Undang-Undang No.2 Tahun 1960, dalam penjelasannya dijelaskan sebagai berikut :“Dalam usaha melindungi golongan yang ekonominya lemah terhadap praktek-praktek yang kuat sebagaimana halnya dengan hubungan perjanjian bagi hasil yang diuraikan di atas, maka dalam bidang Agraria diundangkanlah Undang-Undang ini, yang bertujuan mengatur perjanjian bagi hasil tersebut dengan maksud :

a.    Agar pembagian hasil tanah antara para pihak didasarkan atas dasar adil.
b.    Dengan menegaskan hak-hak dan kewajiban-kewajiban dari pemilik dan penggarap, agar terjamin pula kedudukan Hukum yang layak bagi penggarap, yang biasanya dalam suatu perjanjian bagi hasil itu berada dalam keduddukan yang tidak kuat, yaitu karena umumnya tanah yang tersedia tidak banyak, sedangkan jumlah orang yang ingin menjadi penggarapnya adalah sangat besar.
c.    Dengan terselenggaranya apa yang tersebut pada a dan b di atas, maka akan bertambah kegembiraan bekerja pada petani. Hal mana akan berpengaruh baik pula pada caranya memelihara kesuburan, dan mengusahakan tanahnya. Hal itu tentu saja akan berpengaruh baik pula pada produksi tanah yang bersangkutan, yang berarti suatu langkah maju dalam melaksanakan program untuk melengkapi sandang pangan rakyat”.
Dengan diundangkannya Undang-Undang No.2 Tahun 1960 maka pelaksanaan perjanjian bagi hasil antara para pihak, selain senantiasa harus didasarkan pada pembagian yang adil dilain pihak hak dan kewajiban kedua belah pihak juga telah diperjelas dengan Undang-Undang tersebut utamanya yang menyangkut terjaminnya kedudukan Hukum yang layak khususnya bagi para penggarap. Hal demikian tidak saja berpengaruh terhadap peningkatan hasil produksi akan tetapi pengaruhnya menjangkau jauh sampai kepada terpenuhinya kebutuhan rakyat terhadap sandang pangan.


BAB IV
PENUTUP

A.    KESIMPULAN

1.      Perjanjian bagi hasil secara umum dapat diartikan sebagai suatu perjanjian di mana seseorang pemilik tanah memperkenankan atau mengizinkan orang lain dalam hal ini penggarap untuk menggarap tanahnya dengan membuat suatu perjanjian, bahwa pada waktu panen hasil dari tanaman tersebut akan dibagi sesuai perjanjian yang telah dibuat.
2.      Dengan adanya kepercayaan yang ditumbuhkan oleh adanya bentuk tertulis, maka kemungkinan munculnya perselisihan akibat keragu-raguan dapat dicegah sedini mungkin. Bentuk tertulis juga akan lebih efektif bagi kedua pihak, karena dengan cara demikian telah ditegaskan dalam bentuk dan kelihatan dengan jelas adanya kesepakatan tentang hak dan kewajiban diantara kedua belah pihak yang mengadakan suatu perjanjian bagi hasil.
3.      Tujuan mengatur perjanjian bagi hasil tersebut dengan maksud Agar pembagian hasil tanah antara para pihak didasarkan atas dasar adil. Dengan menegaskan hak-hak dan kewajiban-kewajiban dari pemilik dan penggarap, agar terjamin pula kedudukan Hukum yang layak bagi penggarap, yang biasanya dalam suatu perjanjian bagi hasil itu berada dalam keduddukan yang tidak kuat, yaitu karena umumnya tanah yang tersedia tidak banyak, sedangkan jumlah orang yang ingin menjadi penggarapnya adalah sangat besar.

B. SARAN

Menurut penulis, pembuat Undang-Undang ini yaitu DPR atau lembaga legislatif perlu merevisi ulang mengenai hal ini dikarenakan sudah banyak berkembang dibandikan dengan zaman dahulu. kehidupan sekarang menuntut adanya banyak perubahan yang signifikan.

DAFTAR PUSTAKA


https://www.dpr.go.id/uu/uu1960/UU_1960_2.pdf
http://karyailmiah.tarumanagara.ac.id/index.php/FH/article/view/5266



No comments:

Post a Comment